Analisis Terhadap PNS TNI Yang Melakukan Tindak Pidana Berkaitan
Dengan Tugas/Jabatan Diadili Di Peradilan Militer
Oleh : Kapten Chk Indrajit
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001. Hal ini menunjukan apapun agama, profesi, kedudukan sosial, suku, dan lain-lain adalah sama di muka hukum (equality before the law). Demikian halnya profesi sebagai Prajurit TNI maupun PNS TNI adalah sama di muka hukum, kecuali telah ditentukan oleh undang-undang terlebih dahulu.
Mengingat peran TNI sebagai garda terdepan dalam menghadapi bahaya yang mengancam keutuhan bangsa, maka TNI harus kuat dan solid. Apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan Prajurit TNI, dan tindak pidana itu dapat memperlemah TNI, maka disediakan sarana berupa Peradilan Militer untuk penegakkan hukum, selain juga memiliki peran sebagai bagian pembinaan personil dan organisasi TNI.
Peradilan Militer tersebut, merupakan peradilan tersendiri terpisah dari Peradilan Umum, sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Militer (Prajurit TNI) merupakan golongan rakyat tertentu, bukan rakyat pada umumnya, dan Peradilan Militer, sampai saat ini masih dioperasikan untuk mengadili perkara (tindak) pidana.
Sedangkan bagi PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengan tugas/jabatannya di lingkungan organisasi TNI belum dapat diadili di Peradilan Militer, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang menyebutkan secara tegas. Oleh karena itu akan dibahas secara singkat menyangkut filosofi PNS TNI, latar belakang keberadaannya, dan yurisdiksi Peradilan Militer, sebagai berikut :
1. Filosofi.
Pegawai Negeri Sipil sebagai mana halnya prajurit TNI merupakan Pegawai Negeri, sebagaimana diatur dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya Pasal 1 angka 1, yaitu :
Setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 tersebut, Pegawai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil.
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil memiliki kedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pemba ngunan, sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999.
Dengan demikian terdapat perbedaan filosofi berkaitan dengan tugas/jabatan/pekerjaan diantara Pegawai Negeri Sipil, misalnya antara PNS di lingkungan Pemerintahan Daerah atau PNS suatu Departemen dengan PNS yang bekerja di lingkungan TNI.
Sedangkan prajurit TNI sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998, yaitu :
Warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh Pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Menurut Kolonel Chk (Purn) SR Sianturi, SH, kata militer berasal dari bahasa Yunani “miles” yang berarti :
Seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara.
2. Latar Belakang keberadaan PNS TNI.
Belum diketahui secara pasti (formal) sejak kapan PNS berdinas di lingkungan TNI. Dimana pada awalnya, PNS hanya membantu tugas-tugas TNI atau dengan kata lain, tanpa PNS Prajurit TNI masih dapat menjalankan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, PNS disebut sebagai suplemen Prajurit TNI.
Sejalan dengan perkembangan situasi politik, dimana TNI juga dituntut berkiprah di luar bidang pertahanan keamanan, maka banyak tugas yang kemudian menjadi tidak efektif dan tidak efisien apabila dikerjakan sendiri oleh prajurit TNI, misalnya juru ketik. Meskipun pengetikan tersebut penting untuk mendukung tugas-tugas TNI.
Sehubungan kondisi tersebut diatas pada tahun 1983, Menhankam mengeluarkan Surat Telegram No. ST/127/M/1983 tanggal 7 Desember 1983 tentang kedudukan PNS sebagai komplemen. Secara gramatikal, komplemen dapat diartikan sebagai sesuatu yang melengkapi atau menyempurnakan. Dengan demikian, tanpa peran PNS, maka tugas-tugas (pokok) TNI tidak akan tercapai/tidak akan sempurna.
Makna komplemen sebagaimana tersebut diatas, dapat ditemukan dalam Bagian Umum Petunjuk Pembinaan Pegawai Negeri Sipil ABRI, sebagai berikut :
a. Organisasi ABRI, selain menggunakan prajurit ABRI, juga Pegawai Negeri Sipil ABRI dalam jumlah yang cukup besar. PNS ABRI merupakan “komplemen” dari Prajurit ABRI, oleh karena itu PNS ABRI dan Prajurit ABRI merupakan suatu kesatuan yang terpadu dan sama-sama bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas pokok ABRI. Keterpaduan tersebut harus tercermin dalam semua tingkat organisasi, dan kedua belah pihak wajib memahami peranan masing-masing.
b. Penggunaan PNS di lingkungan ABRI dilakukan selain atas pertimbangan adanya beberapa jabatan tertentu yang lebih efektif dan efisien dijabat oleh PNS ABRI, juga karena sifat penugasan pada umumnya relatif stasioner, artinya mereka pada dasarnya tidak terkena alih tugas secara geografis, sifat penugasan yang relatif stasioner, akan menjamin kontinuitas pelaksanaan tugas pokok ABRI.
c. Penugasan PNS ABRI di lingkungan ABRI tetap dibatasi dalam bidang non tempur yang bersifat administratif, teknis, medis/paramedis, dan tugas khusus.
d. PNS ABRI merupakan bagian dari PNS pada umumnya. Oleh karena itu, selain tunduk kepada ketentuan-ketentuan Mabes ABRI dan Dephankam, juga tunduk kepada peraturan/ketentuan yang bersifat umum bagi PNS, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran/Peraturan dari BAKN, LAN dan sebagainya.
Dari uraian diatas, terlihat latar belakang PNS TNI, adalah untuuk mendukung tugas pokok TNI, meskipun dalam bidang non tempur. Dengan demikian, apa yang diketahui oleh Prajurit TNI juga diketahui oleh PNS TNI, juga termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan oleh Prajurit TNI juga harus dirahasiakan PNS TNI.
Selain itu, berkaitan dengan sifat penugasan PNS TNI yang stasioner, masa pengabdian di lingkungan TNI secara umum jauh lebih lama dibandingkan dengan Prajurit TNI itu sendiri, misalnya untuk golongan Tamtama dan Bintara, mereka pensiun lebih cepat (usia 48 tahun) dibandingkan dengan pensiun PNS TNI (usia 56 tahun), meskipun dengan ijazah dan masuk (mengabdi) pada usia yang sama.
Sedangkan dilihat dari sudut kepentinganTNI dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya dikaitkan dengan sifat komplemen PNS TNI, maka dapat dikatakan keberhasilan maupun kegagalan tugas pokok TNI juga dapat ditentukan oleh aktifitas PNS TNI tersebut.
3. Yurisdiksi Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, diakitkan dengan Pasal 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), maka Peradilan Militer mengadili tindak pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit (militer) atau yang dipersamakan. Dengan kata lain, selama ia militer, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik tindak pidana militer (murni), seperti desersi, insubordinasi, dan lain-lain juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, atau pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan psikotropika/shabu-shabu, narkotika, korupsi, dan lain-lain diadili di peradilan militer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas-tugas/jabatan kemiliteran.
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer.
Sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang koneksitas, maka titik berat diadilinya seseorang warga sipil (civilian) di peradilan militer, karena unsur (kerugian) militer melebihi unsur sipil, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh seorang bukan militer dan perkara penyertaan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demikian.
Dengan demikian, selama akibat tindak pidana tersebut dapat dibuktikan merugikan kepentingan militer, misalnya pencurian senjata/amunisi di gudang senjata, membunuh caraka untuk memperoleh data/informasi militer, membakar gedung arsip/dokumen militer, dan lain-lain, maka pelaku akan diadili di Peradilan Militer.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan dapat merujuk kepeda kewenangan Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran, …..
Orang-orang sipil tersebut, saat ini dapat diartikan sebagai Pegawai PNS TNI, karena kenyataannya bekerja di lingkungan TNI atau orang-orang sipil lainnya bukan PNS TNI tetapi bekerja di lingkungan TNI atau setidak-tidaknya memperoleh gaji dari TNI.
Selain itu, untuk mendukung dapat diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer, sebagai contoh adalah pelanggaran lalu lintas oleh PNS TNI, yaitu apabila PNS TNI mengemudikan kendaraaan dinas TNI, kemudian diberi bukti pelanggaran (tilang) oleh polisi Militer (POM) karena kedapatan tidak membawa SIM atau STNK, maka ia akan diproses oleh POM, selanjutnya disidang di pengadilan militer.Mengingat tugas-tugas (pokok) TNI juga bergantung pada PNS TNI, maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena jabatannya/tugas-tugasnya juga yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa (negara) juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara, maka harus dihancurkan tentaranya terlebih dahulu.Dari penyampaian tersebut dapat dikatakan, ada korelasi positif antara tentara (militer) yang kuat, utuh dan solid dengan eksistensi suatu negara (bangsa). Demikian pula sebaliknya, apabila tentara suatu negara lemah, terpecah-pecah, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mudah hancur. Dimungkinkannya PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengantugas-tugas/jabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau dengan kata lain merugikan unsur (kepentingan) militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM), maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu berkaitan dengan Ankum dan Papera, karena selama ini ketentuan tentang keankuman dan kepaperaan hanya untuk Prajurit TNI (militer). Demikian halnya apabila PNS TNI melakukan tindak pidana tidak berkaitan dengan tugas/jabatannya, tetapi tempat kejadian perkara (locus delicti) terjadi di dalam markas/pangkalan atau yang dipersamakan dengan markas/pangkalan (military property), apakah penyidik sipil (Polri) dapat diijinkan melakukan penyelidikan di dalam markas/pangkalan tersebut. Mengingat sampai saat ini, belum ada Undang-Undang yang mengatur dan adanya resistensi, sebagaimana dinyatakan oleh Laksa Mahmilgung, yaitu : Tradisi keprajuritan seperti, cepat bereaksi, L’esprit de corps, loyalitas, kesetiakawanan, berani dan rela berkorban ini menjadikan setiap prajurit sangat rawan dalam kecenderungan menolak bahkan melawan terhadap orang lain (bukan prajurit) yang masuk untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut prajurit atau kesatuannya. Lebih rentan lagi, karena tugasnya, prajurit membawa senjata. Mengingat masih adanya kesulitan-kesulitan di lapangan nantinya, disarankan diadakan diskusi-diskusi atau tukar pikiran (curah pendapat) terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat PNS, khususnya di lingkungan TNI juga dari Departemen dibawah Menpan berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan PNS TNI berkaitan dengan tugas/jabatannya untuk diadili di Pengadilan Militer. Selain itu, perlu diadakan amandemen (perubahan) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, khususnya Pasal 9 angka 1 dan diletakan menjadi huruf e dengan bunyi : PNS TNI berkaitan dengan tugas jabatan atau tidak berkaitan dengan tugas jabatan tetapi dilakukan didalam Markas TNI atau yang dipersamakan dengan Markas TNI. Lebih dari itu, mengingat peran PNS TNI bukan lagi sebagai suplemen Prajurit TNI tetapi sudah menjadi komplemen, dan semata-mata untuk kepentingan tugas pokok TNI, maka sudah saatnya PNS (pejabat PNS TNI atau mereka yang memahami peran-peran PNS TNI) diberikan kesempatan untuk memberikan semacam penyuluhan (hukum) kepada prajurit TNI berkaitan dengan keberadaan PNS TNI dalam organisasi TNI, peran, hubungannya dengan tugas-tugas pokok TNI dan prajurit TNI status, pendidikan, karir, dan lain-lain, karena (diperkirakan) masih banyak prajurit TNI yang belum memahami atau belum mengetahui peran-peran PNS TNI sebagaimana tersebut di atas. DAFTAR PUSTAKA - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.2, Jakarta : Balai Pustaka, 1989. - Sianturi, S.R. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, cet.2, Jakarta ; Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985. - Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, bogor : Politela, 1981. - Subekti, R. dan Tjitrosudibio. Kamus Hukum, cet. 10, Jakarta ; Pradnya Paramita, 1989. - Soegiri, dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, cet. 1, Jakarta ; Indra djaja, 1976. Tarigan, N., Laksamana Muda TNI. “Kekuasaan Peradilan atas Pelanggaran Hukum Pidana Umum oleh Tentara,” Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang “Metoda (Format) Implementasi Praktis dari Ketetapan (TAP) MPR nomor : VII/MPR/2000.” Yayasan Sandi Perkotaan (Sandikota), Jakarta : 13 Pebruari 2001. |
Blog KORPRI TNI AL merupakan media /sarana Silaturahmi, Komunikasi, Edukasi, Sosialisasi dan Implementasi bagi seluruh anggota PNS TNI AL dimanapun berada dan bertugas dalam rangka mendukung Tugas Pokok TNI Angkatan Laut. Kami menerima atensi berupa saran kritik yang membangun, karya tulis, artikel, photo kegiatan Korpri, serta publikasi lainnya yang dapat dikirimkan melalui alamat Email kami : korpritnial2012@gmail.com Terima Kasih
Analisis
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar