Dalam Islam, syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, apa dosa besar kedua setelah syirik? Ternyata dosa terbesar kedua setelah syirik adalah korupsi. Mengapa? Berikut ini penjelasannya.
Syirik merupakan dosa terbesar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memfirmankan bahwa dosa syirik tidak akan diampuni.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa’ : 48)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’ : 116)
Lalu mengapa korupsi merupakan dosa terbesar kedua setelah syirik, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang tujuh dosa besar tanpa menyebut korupsi?
Lalu mengapa korupsi merupakan dosa terbesar kedua setelah syirik, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang tujuh dosa besar tanpa menyebut korupsi?
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Hendaklah kalian menghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah ketujuh dosa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dosa menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, dan menuduh wanita mukminah baik-baik berbuat zina.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama menjelaskan, dosa besar tidaklah terbatas pada tujuh dosa tersebut. Pada hadits lain, Rasulullah menyebut dosa lain selain yang tujuh tersebut. Misalnya dalam sabdanya:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ
“Apakah kalian mau kuberitahu dosa besar yang paling besar?” Beliau mengulanginya tiga kali. Mereka menjawab: “Mau, wahai Rasulullah”. Maka Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua”. Lalu Beliau duduk dari sebelumnya berbaring kemudian melanjutkan sabdanya: “Ketahuilah, juga ucapan dusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, pada zaman Rasulullah belum ada istilah korupsi. Yang ada adalah mencuri, yang kerugiannya jauh lebih kecil daripada korupsi.
Ketiga, marilah kita bandingkan korupsi dengan dosa-dosa lainnya agar tampak betapa korupsi merupakan dosa terbesar, yang sulit diampuni kecuali setelah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Taubat nasuha.
Korupsi vs Sihir
Orang yang mempraktikkan sihir, ia menjalin hubungan dengan jin, menjadi hambanya. Sedangkan orang yang korupsi, ia menghamba pada uang dan menempuh segala cara untuk meraihnya, termasuk bekerja sama dengan dukun dan jin.
Orang yang mempraktikkan sihir, dengan sihirnya ia menyakiti satu dua orang. Dengan sihirnya ia memisahkan suami istri. Sedangkan orang yang korupsi, dengan korupsinya ia telah menyakiti ribuan bahkan jutaan rakyat. Dengan korupsinya ia memisahkan ribuan pasang suami istri dari kesejahteraan yang semestinya mereka nikmati.
Korupsi vs Membunuh Jiwa
Membunuh satu orang dicatat sebagai dosa besar. Sedangkan korupsi, ia adalah dosa yang lebih besar. Sebab dengan korupsi, koruptor telah membunuh sekian banyak rakyat secara perlahan-lahan.
Korupsi vs Memakan Harta Anak Yatim
Korupsi lebih besar dosanya daripada memakan harta anak yatim. Sebab, melalui korupsi, koruptor memakan harta anak-anak secara acak dalam jumlah banyak, baik anak-anak yatim atau anak-anak orang miskin.
Korupsi vs Memakan Riba
Riba adalah mengambil kemanfaatan dari uang yang dipinjamkannya. Sedangkan korupsi, ia mengambil uang yang sama sekali bukan haknya.
Melalui praktik riba, seorang lintah darat menghisap harta satu dua orang korbannya. Melalui korupsi, seorang koruptor menghisap harta sekian banyak rakyat di negerinya.
Korupsi vs Lari dari Medan Perang
Lari dari medan perang merupakan dosa besar karena membuat pasukan lemah dan negara kalah perang. Korupsi menjadi dosa yang lebih besar sebab ia membuat militer yang digerogoti anggarannya menjadi lemah serta membuat negara kalah sebelum perang.
Korupsi vs Menuduh Wanita Zina
Menuduh wanita zina adalah dosa besar, sebab ia telah memfitnah dan merusak kehormatan. Korupsi menjadi dosa lebih besar, sebab dengan korupsi yang memiskinkan masyarakat, sebagian wanita yang lemah iman beralasan mencari penghasilan dengan menjual kehormatan.
Korupsi vs Durhaka kepada Orangtua
Korupsi lebih besar dosanya daripada durhaka kepada orangtua. Sebab seandainya orang tuanya tahu bahwa anaknya memberinya makan dengan harta hasil korupsi, niscaya mereka tidak akan rela. Selain itu, korupsi adalah tindakan durhaka kepada seluruh orangtua yang seharusnya mendapatkan hak tetapi dirampasnya.
Korupsi vs Berdusta
Berdusta atau berbohong juga disebut Rasulullah sebagai dosa besar. Sedangkan korupsi merupakan kebohongan yang sangat besar. Bukan hanya bohong soal data tetapi juga bohong soal dana.
Korupsi vs Dosa Haqqul Adami Lainnya
Dibandingkan dengan seluruh doa yang sama-sama terkait hak Adam (dosa antar sesama manusia), korupsi paling sulit taubatnya. Para ulama menjelaskan, jika muslim berbuat dosa kepada Allah (hablun minallah), syarat taubatnya cukup tiga: menyesal, memohon ampun, berkomitmen tidak mengulanginya. Namun jika dosanya itu terkait dengan sesama (hablun minannas), syarat taubatnya ditambah satu lagi: membebaskan diri dari hak tersebut, dengan cara mengembalikan dan/atau meminta dimaafkan/dihalalkan.
Jika dosanya adalah memakan harta anak yatim, syarat keempat ini dipenuhi dengan mengembalikan harta yang telah ia ambil atau meminta dihalalkan/maaf kepada anak yatim tersebut. Jika dosanya adalah menuduh wanita mukminah berzina, ia cukup meminta maaf kepadanya. Jika dosanya adalah mencuri, ia cukup mengembalikan harta yang dicurinya kepada orang tersebut atau meminta dihalalkannya.
Tetapi jika dosanya adalah korupsi, sesungguhnya ia telah mencuri harta seluruh rakyat. Maka sebagai bentuk taubatnya, ia harus mengembalikan harta rakyat tersebut atau meminta maaf kepada seluruh rakyat. Sungguh sangat berat.
Karenanya, marilah kita jauhi korupsi. Dan demi pemberantasan dan pencegahan korupsi, jangan biarkan artikel ini hanya Anda baca sendiri. Jika Anda adalah orang baik yang jauh dari koruspi, artikel ini mungkin tidak begitu bermanfaat bagi Anda. Tapi jika Anda menyebarkannya, semoga dengan membaca artikel ini, orang yang melakukan korupsi tersentuh untuk segera bertaubat. Dan orang yang berniat korupsi segera membatalkannya. Sebab ia sadar, korupsi adalah dosa terbesar setelah syirik. Ia sulit diampuni.
Wallahu a’lam bish shawab. [Kisahikmah.com]
Dalam Islam yang mulia, tiada persoalan yang dipandang kecil atau remeh. Islam mengatur semuanya dengan baik dengan ragam kaidah yang berlaku dan tak bisa dianggap sebelah mata. Bahkan, sesuatu yang kerap disepelekan, senyatanya menjadi hal penting dan amat berpengaruh terhadap keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat.
Lisan, misalnya.
Mula-mula, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjamin keselamatan seorang hamba jika dia mampu menjaga apa yang terdapat di antara dua paha dan dua rahangnya. Ialah kemaluan dan lisan. Jika dua hal itu terjaga dari semua keharaman dan dimanfaatkan dalam rangka iman serta taqwa kepada Allah Ta’ala, surga dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam untuk kaum Muslimin yang mampu melakukannya.
Sebaliknya, andai dua anggota tubuh manusia itu disibukkan dalam sia-sia, maksiat, dan dosa, neraka sudah menunggu dengan siksa dan nyala apinya. Bahkan, ada begitu banyak kasus siksa yang disegerakan manakala seorang hamba tak mampu menjaga keduanya.
Khusus soal lisan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah berkata tegas kepada salah satu sahabat mulianya. Beliau menyebutkan, ada begitu banyak orang yang tergelincir ke dalam neraka lantaran tak mampu menjaga apa yang terlontar dari lisannya.
Parahnya, lontaran lisan dianggap remeh oleh umat akhir zaman ini, padahal hal itu menjadi sebab baginya hingga dimasukkan ke dalam siksa neraka.
Senada dengan nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang mulia ini, ada nasihat amat indah nan mengguncang jiwa orang-orang yang beriman. Ialah perkataan agung yang disampaikan oleh Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq dan dikutip oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah saat menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi.
“Seandainya kalian harus membeli kertas untuk para malaikat pencatat, tentulah kalian lebih memilih diam daripada banyak bicara.”
Sebuah kalimat yang indah. Merupakan nasihat penggugah jiwa. Amat ringkas, padat, dan sangat jelas maknanya.
Sebagian kita amat mudah mengatakan dan mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya, tanpa memperhatikan manfaatnya bagi diri dan orang lain. Semua yang diketahui disampaikan, semua yang didengar dituliskan, semua yang didapat segera disebarkan.
Mereka lupa, semua itu akan diabadikan oleh malaikat pencatat amal. Dan bisa jadi, kebodohan sebagian kita yang mengucapkan banyak hal tanpa koreksi terjadi lantaran merasa tak membeli kertas untuk malaikat pencatat amal hingga bebas mengatakan apa pun, toh tidak mengurangi harta dan aset yang dimiliki.
Na’udzubillahi min dzalik. Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
Solusi Atas Semua Persoalan Hidup
Lepas tunai Bakdiyah Maghrib, pemuda ini terduduk dalam munajatnya. Berniat menunggu Isya’. Di pikirannya masih berkecamuk aneka persoalan yang dihadapinya. Kemarin, sekarang, hingga prediksi-prediksi yang dibuat untuk menghadapi masa yang akan datang. Rumit. Itulah kesimpulan yang ada di benak sempit pemuda itu.
Ada bayangan tentang statusnya yang tak kunjung beristri. Pasalnya, sudah berkali-kali taaruf serius, nyatanya jodoh belum berpihak padanya. Banyak sebab. Kadang, ia yang ditolak. Tak jarang pula, dirinya yang menolak. Dalam kali lain, orang tua mereka yang tak setuju. Padahal, alasan-alasan penolakan itu, sama sekali tak benar-benar bisa dibenarkan.
Tunai memikirkan bab jodoh, imajinasinya melayang pada andai-andai jika kelak menikah. Hidup dengan wanita yang mulanya lain, memiliki keluarga dari pihak wanita yang memang asing, membiayai hidup sang istri, dan lain sebagainya. Termasuk bayangan jika istrinya hamil, perawatan menuju persalinan, kemungkinan operasi, segala jenis kebutuhan anaknya, dan bayangan jika kelak anaknya dewasa. Hidup si pemuda setelah bayangan kedua, terasa semakin sempit dan gelap.
Tak lama kemudian, giliran soal pekerjaan yang mampir. Sekian lama bekerja, tetapi begitu-begitu saja. Gaji stagnan, jabatan tak kunjung naik. Belum lagi persoalan di pekerjaan yang semakin subur. Baik dengan sesama rekan kerja, atasan, hingga masalah-masalah lain yang mustahil didaftar satu persatu. Hal itu diperparah dengan kontraknya yang tak kunjung diperpanjang. Ancaman pemutusan hubungan kerja benar-benar nyata di hadapannya.
Lalu, imajinasi pun melayang menuju kampung halamannya. Ada ayah dan ibu yang harus dibiayai, adik-adiknya yang masih sekolah, rumah keluarga yang belum kunjung direnovasi, dan gunjingan serta hinaan dari tetangga yang jumlahnya semakin banyak, melebihi buih di lautan luas. Lengkap sudah, pikiran pemuda ini, lebih pekat dan gulita dari malam yang belum memasuki puncaknya kala itu.
Maka, ia pun beranjak. Berpindah tempat duduk. Mencari tiang untuk bersandar. Sebelumnya, ia telah meraih dan mendekap mushaf suci di dadanya. Pikirnya sederhana, “Pasti di dalam Kitab ini ada solusinya.”
Ta’awudz tunai dilafal, berlanjut dengan basmalah dan surat al-Fatihah. Lalu, ia menuju akhir tilawah terakhirnya untuk melanjutkan. Juz sebelas. Di akhir surat at-Taubah itu, pikirannya melayang jauh dalam proses jihad qital di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Tak lama, imajinasi terkait masalahnya pun hilang. Larut dalam kisah-kisah Nabawi yang menenteramkan jiwa.
Tapi, ketenteraman itu tak berlangsung lama. Bayangan ngeri kembali muncul. Seketika. Begitu saja. Tanpa diminta. Lantas, hatinya pun melafal istighfar seraya melanjutkan tilawah. Akhir at-Taubah, ia pun masuk ke surat Yunus. Saat itulah, Allah Ta’ala turunkan kesejukan di dalam hatinya.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat, kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu. Maka sembahlah Dia. Maka, apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Yunus [10]: 3)
Pemuda itu seperti mendapat bisikan di dalam hatinya, “Mengapa kamu pusing? Memangnya masalah-masalahmu lebih besar dari bumi? Apakah soalan hidup yang kauhadapi lebih pelik dari penciptaan langit dengan seluruh lapisannya?”
Dialog batin pun berlanjut, “Amat mudah bagi-Nya untuk menyelesaikan semua masalah yang kauhadapi. Tak sukar bagi-Nya untuk memberikan semua yang kauinginkan. Sebab, Dialah yang mencipta bumi, langit dan seluruh isinya. Maka, atas alasan apa perasaan galau di dalam hatimu itu? Bukankah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Selepas itu, lelaki ini pun menunduk dalam-dalam, menghirup nafas panjang, lalu melepaskannya. Malu-malu menatap langit-langit masjid, ia bertutur lirih, “Terimakasih ya Allah atas ketenteraman dan solusi yang Kauberikan. Alhamdulillah.” [Pirman/Kisahikmah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar