PNS memasuki era Manajemen Aparatur Sipil Negara
Oleh : Suyono
Widyaiswara PKP2A II LAN
Setelah menunggu sekian lama dengan penuh harap dan penasaran, ahirnya Dewan Perwakilan Rakyat RI pada periode Desember 2013 yang lalu tepatnya, Kamis 19 Desember 2013 melalui rapat paripurna dan mendapat persetujuan dari seluruh anggota dewan yang hadir mengesahkan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ( RUU ASN) menjadi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara kemudian Presiden RI pada Rabu 15 Januari 2014 lalu telah menandatangani Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang telah disetujui oleh Rapat Paripurna tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Substansi yang terkandung dalam Undang Undang ASN diantaranya ditegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah bentuk profesi, dengan penetapan ASN sebagai sebuah profesi, maka diperlukan adanya asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, serta pengembangan kompetensi. Pegawai ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPKK). Pegawai Negeri Sipil sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara dalam pengelolaannya diatur dalam manajemen Aparatur Sipil Negara yaitu Sistem Manajemen Kepegawaian yang meliputi sistem perencanaan, pengembangan karier, penggajian, dan batas usia pension. ASN tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sebab nanti akan dibentuk lembaga yang mengurusnya yakni, komisi aparatur sipil negara (KASN). Diharapkan aturan ini mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik, sebab pegawai negeri sipil (PNS) tidak lagi berorientasi melayani atasannya, melainkan masyarakat. Aturan ini menempatkan PNS sebagai sebuah profesi yang bebas dari intervensi politik dan akan menerapkan sistem karier terbuka yang mengutamakan prinsip profesionalisme, yang memiliki kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, objektivitas, serta bebas dari intervensi politik dan KKN yang berbasis pada manajemen sumber daya manusia dan mengedepankan sistem merit menuju terwujudnya birokrasi pemerintahan yang profesional. Selama ini pegawai negeri sipil tidak bisa bersikap netral, mudah terbawa arus politik dan perlu melakukan lobi untuk mendapat promosi jabatan. Substansi yang terkandung dalam Undang-Undang ASN diantaranya ditegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah bentuk profesi, dengan penetapan ASN sebagai sebuah profesi, maka diperlukan adanya asas, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, serta pengembangan kompetensi. Pegawai ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPKK). Sistem Manajemen Kepegawaian yang meliputi sistem perencanaan, pengembangan karier, penggajian, dan batas usia pensiun. ASN tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sebab nanti akan dibentuk lembaga yang mengurusnya yakni, komisi aparatur sipil negara (KASN). Jabatan dalam ASN terdiri dari :
a). Jabatan Administrasi (Administrator, Pengawas, dan Pelaksana);
b). Jabatan Fungsional (fungsional keahlian dan ketrampilan);
c) Jabatan Pimpinan Tinggi (Jabatan Pimpinan Tinggi Utama, Madya, dan Pratama). Khusus mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, proses pengisian jabatan ini dilakukan secara terbuka dan kompetitif, transparan dan akuntabel, selain itu ASN juga mengamanahkan pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), guna menjamin sistem dalam kebijakan dan manajemen ASN. Undang Undang ASN ini juga mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan penyesuaian terhadap ketentuan yang telah diatur, seperti masalah penggajian, pensiun dan jaminan. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan:
a. Jabatan eselon Ia Kepala Lembaga Pemerintah non Kementerian setara dengan jabatan Pimpinan Tinggi Utama;
b. Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan jabatan Pimpinan Tinggi Madya;
c. Jabatan eselon II setara dengan jabatan Pimpinan Tinggi Pratama;
d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan Administrator;
e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan Pengawas; dan
f. Jabatan eselon V dan Fungsional Umum setara dengan jabatan Pelaksana.
Dari sisi kelembagaan, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN. Dalam penyelenggaraan kekuasaannya, Presiden dibantu oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Khusus mengenai Batas Usia Pensiun (BUP) bagi Pejabat Administrasi adalah 58 tahun, dan bagi Pejabat Pimpinan Tinggi 60 tahun dan bagi pejabat fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi masing-masing Pejabat Fungsional.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
APARATUR SIPIL NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aparatur Negara Republik Indonesia terdiri
dari 4,7 juta pegawai aparatur sipil negara, 360.000 anggota Polri, dan 330.000
anggota TNI. Semuanya merupakan modal Bangsa dan Negara yang harus selalu
dijaga dengan baik, dikembangkan, dan dihargai. Manajemen sumber daya aparatur
sipil negara merupakan salah satu bagian penting dari pengelolaan pemerintahan
negara yang bertujuan untuk membantu dan mendukung seluruh sumber daya manusia aparatur
sipil negara untuk merealisasikan seluruh potensi mereka sebagai pegawai
pemerintah dan sebagai warga negara. Paradigma ini mengharuskan perubahan
pengelolaan sumber daya tersebut dari perspektif lama manajemen kepegawaian
yang menekankan hak dan kewajiban individual pegawai menuju pespektif baru yang
menekankan pada manajemen pengembangan sumber daya manusia secara strategis (strategic
human resource management) agar selalu tersedia sumber daya aparatur sipil
negara unggulan selaras dengan dinamika perubahan misi aparatur sipil negara.
Perubahan tersebut memerlukan manajemen
pengembangan sumber daya manusia aparatur negara agar selalu maju dan memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi
pemerintahan dan pembangunan selaras dengan berbagai tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia. Untuk memberikan landasan hukum bagi manajemen pengembangan
sumberdaya manusia aparatur negara tersebut diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
1. Landasan Filosofis
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) menetapkan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang‐Undang
Dasar. Artinya, Presiden merupakan penyelenggara Negara yang tertinggi. Dalam
menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab sepenuhnya berada
pada Presiden.
Dalam Alinea Kedua UUD NKRI Tahun 1945
dicantumkan tugas konstitusional Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah “…..
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial …”.
Pemerintahan Negara yang diperintahkan oleh
UUD NKRI Tahun 1945 adalah pemerintahan demokratis, desentralistis, bersih dari
praktek KKN, serta yang mampu menyelenggarakan pelayanan publik secara adil.
Ketentuan tentang bentuk pemerintahan seperti tersebut tertuang dalam berbagai
Undang-Undang sebagai pelaksanaan dari UUD NKRI Tahun 1945 yang merupakan
sublimasi cita-cita luhur bangsa sebagaimana tercantum dalam UUD NKRI Tahun 1945
tentang tata pemerintahan yang baik atau good governance. Untuk
menyelengarakan pemerintahan seperti tersebut perlu dibangun aparatur negara yang
profesional, bebas dari intervensi politik, bersih praktek KKN, berintegritas
tinggi, serta berkemampuan dan kinerja tinggi.
2. Landasan Yuridis
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok‐Pokok Kepegawaian yang mengatur tentang
manajemen kepegawaian Negara yang disusun berdasarkan kerangka pemikiran bahwa
pegawai sebagai individu dan sebagai korp adalah bagian integral dari
pemerintahan Negara. Karena itu setiap pegawai sipil dituntut agar memiliki
loyalitas penuh kepada pemerintah Negara. Ketentuan seperti tersebut dipandang
tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang semakin demokratis dan desentralistis,
pemerintahan yang semakin terbuka, serta ekonomi yang semakin kompetitif.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sudah
mengamanatkan pembentukan Komisi Kepegawaian Negara sebagai otoritas independen
untuk menjaga profesionalitas, netralitas, dan apolitisasi SDM Aparatur Negara.
Namun, karena berbagai kesibukan Pemerintah, 12 (dua belas) Tahun setelah
diamanatkan oleh Undang-Undang, Komisi independen tersebut belum dibentuk. Sementara
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian
Negara, dan Lembaga Administrasi Negara semakin terkungkung oleh rutinitas dan
kurang mampu menjadi pendorong reformasi aparatur negara. Reformasi birokrasi
yang dilaksanakan oleh beberapa kementerian dan lembaga non kementerian sejak
2008 lebih merupakan inisiatif bottom‐up oleh para pimpinan kementerian tersebut,
bukan karena adanya suatu kebijakan nasional reformasi aparatur Negara. Undang-Undang
ini merupakan ketetapan pokok‐pokok
bagi pengaturan manajemen kepegawaian bagi seluruh aparatur Negara yang
mendapat gaji dari Negara, di samping secara khusus mengatur mengenai aparatur
sipil Negara.
Sementara desentralisasi kepegawaian yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam perkembangannya telah
dilaksanakan dengan semangat yang berbeda dan telah menyimpang dari semangat
yang mendasari desentralisasi kepegawaian. Pembentukan PNS Daerah pada Undang-Undang
tersebut pada esensinya adalah untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah
daerah agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai daerah dengan fungsi dan
tugas pemerintah daerah. Tapi dalam kenyataan, setelah pelaksanaan desentralisasi
kepegawaian sejak Tahun 2000, dari 497 (empat ratus sembilan puluh tujuh)
kabupaten dan kota dan 33 (tiga puluh tiga) provinsi, hampir tidak ada yang
melaksanakan manajemen kepegawaian dengan semangat seperti yang diharapkan,
yaitu mengangkat pegawai yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai
dengan beban tugas dan fungsi daerah. Sebaliknya, setiap tahun formasi calon
PNS yang diberikan kepada kabupaten dan kota berjumlah 250 orang. Pada provinsi
mungkin mencapai 2 (dua) kali jumlah tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari
Universitas Internasional Adgers, Norwegia (Kristiansen, 2009[1])
dan oleh Bank Dunia melalui proyek Decentralization Support Fund (2011[2]),
menunjukkan adanya praktek jual beli formasi pegawai antara oknum‐oknum otoritas kepegawaian di Pusat dengan
para pimpinan daerah. Formasi yang diperoleh dengan modal Rp5‐10 juta per pegawai tersebut kemudian dijual
oleh Pejabat Yang Berwenang di daerah dengan harga berlipat‐lipat lebih mahal, berkisar antara Rp75 juta sampai
dengan Rp150 juta tergantung dari jabatan. Praktek perdagangan calon pegawai
ini selain bernilai sangat besar, sekitar Rp 20 sampai 25 triliun per tahun, juga telah
merusak sendi-sendi moralitas pegawai aparatur sipil Negara. Praktek
perdagangan jabatan terjadi juga dalam pengisian posisi kepala Satuan Kerja
Pemerintah Daerah dan pengisian posisi jabatan poliitik lokal.
3. Landasan Sosiologis
Publikasi Bank Dunia yang baru saja dirilis, Investing
in Indonesia’s Institutions for Inclusive and Sustainable Development menunjukkan
konsekuensi dari tranformasi Indonesia menjadi negara berpendapatan
menengah. Permintaan masyarakat akan pelayanan publik bermutu, dan cepat
akan mengalami peningkatan. Untuk merespon the rising demand tersebut sektor
publik harus mampu menyediakan pelayanan publik yang diperlukan masyarakat
pendapatan menengah, seperti infrastruktur yang lebih baik, transportasi
publik lebih baik, perpanjangan pendidikan wajib menjadi 12 (dua belas) tahun,
pendidikan tinggi berkualitas internasional, pelayanan kesehatan standar
internasional, dan sistem jaminan sosial yang memadai, termasuk sistem
asuransi kesehatan untuk membiayai pelayanan kedokteran yang lebih modern.
Reformasi aparatur negara yang lebih cepat diperlukan untuk membangun kapasitas
public service, Indonesia menyediakan pelayanan publik yang lebih tinggi
yang memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi.
Sebagai bangsa berpendapatan menengah dan
memiliki tingkat pendidikan semakin tinggi, serta mempunyai kehidupan
politik yang semakin demokratis yang rakyatnya punya kesadaran politik
semakin tinggi. Dalam kondisi seperti tersebut masyarakat Indonesia akan menuntut
pelayanan publik yang semakin baik, semakin terjangkau dan bermutu tinggi, antara
lain pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan bermutu tinggi, sarana dan
prasarana transportasi yang lebih baik, dan saran komunikasi yang state
of the art. Untuk mememenuhi tuntutan pelayanan publik yang setara
dengan negara maju lainnya sangat diperlukan aparatur negara yang
profesional, mampu menggalang kemitraan dengan pihak swasta, berkinerja
tinggi, akuntabel, bersih dari raktek KKN, sehingga perlu dijamin tingkat kesejahteraannya.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok‐Pokok Kepegawaian Negara menetapkan penerapan
sistem kepegawaian berbasis karir yang menekankan pada hak, kewajiban, tugas,
dan tata cara pengelolaan pegawai negeri sipil secara individu guna membangun
SDM Aparatur Negara dengan manajemen yang tersentralisasi. Pada Tahun 1998
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat parah sehingga harus mengadakan
reformasi tata pemerintahan, ekonomi, dan paradigma manajemen kepegawaian
seperti tersebut sudah ditinggalkan oleh banyak Negara karena selain tidak
mampu membangun sumber daya manusia yang profesional dan bebas dari intervensi
politik, sistem manajemen seperti tersebut menyebabkan tanggungjawab Pemerintah
dalam pembinaan pegawainya menjadi sangat besar.
Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil
Negara ini disusun dengan landasan pemikiran yang banyak digunakan oleh negara
maju yang berdasarkan paradigma manajemen kepegawaian pertimbangan bahwa untuk mendukung
pembangunan tata kepemerintahan demokratis dan desentralistis, serta ekonomi pasar
sosial yang semakin terbuka perlu dibangun Aparatur Sipil Negara yang memiliki kekuatan
dan kemampuan yang semakin tinggi dan semakin mampu melaksanakan pencapaian
tujuan dan program politik pemerintah.
Kebijakan restrukturisasi ekonomi yang
ditempuh Pemerintah sejak Tahun 1998 telah berhasil membangun ekonomi nasional
yang lebih terbuka yang mampu menciptakan ekonomi nasional semakin baik dengan
pertumbuhan PDB 5‐5.5% per
tahun sejak Tahun 2002 sehingga berhasil mengantarkan Indonesia masuk kembali
ke dalam jajaran middle income countries (MIC). Di bidang politik
Indonesia telah mencapai prestasi yang diakui dunia karena berhasil membangun
sistem demokrasi secara aman dan damai. Sejak Tahun 2004 Presiden telah dipilih
langsung oleh rakyat, dan diikuti oleh pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
Pemilihan langsung kepala daerah diharapkan akan mampu meningkatkan
akuntabilitas kepala daerah kepada para pemilihnya.
Namun, tidak seperti reformasi ekonomi dan
reformasi politik yang berjalan cepat, pembangunan Aparatur Negara melalui
reformasi birokrasi berjalan lamban. Pada pertengahan masa kerja Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB‐1) pembangunan Aparatur Negara melalui
reformasi birokrasi dilaksanakan secara incremental, dimulai dari
Kementrian Keuangan, pada Tahun 2008, dan kemudian diperluas ke kementerian dan
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Pada Tahun 2011 pelaksanaan
reformasi birokrasi baru mencakup 14 (empat belas) kementerian dan LPNK.
Pemerintah mengharapkan pada Tahun 2014 semua instansi pusat dan daerah sudah
menjalankan reformasi birokrasi di instansi masing‐masing. Tetapi karena dilaksanakan secara
instansional cukup banyak komponen aparatur negara yang tidak tersentuh dan
tidak mengalami perubahan mendasar. Salah satu komponen aparatur Negara yang
kurang tersentuh program refofmasi masional adalah Aparatur Sipil Indonesia (Indonesian
Civil Service) yang merupakan wadah kelembagaan bagi 4,7 juta PNS dan
sekitar 1 juta pegawai tidak tetap[3].
Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan di
berbagai kementerian dan pemerintah daerah mencakup 3 (tiga) elemen dasar yaitu
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia aparatur negara. Sebagai
unsur terbesar Aparatur Negara yang terdiri atas 4,7 juta PNS dan lebih kurang
1 juta pegawai honorer pada Tahun 2009, pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)
adalah unsur Aparatur Negara yang paling besar dan menduduki posisi penting karena
sangat menentukan penyelenggaraan pelayanan publik, dan pelaksanaan tugas‐tugas pemerintahan serta pembangunan. Namun,
dalam kenyataannya, SDM Aparatur Sipil Negara, khususnya 4,7 juta personil ASN
belum mampu mencapai prestasi terbaik dalam pelaksanaan pelayanan dasar dan
dalam pelaksanaan manajemen kebijakan pemerintahan, karena belum semua komponen
pengembangan sumber daya ASN tersentuh oleh Program Reformasi Birokrasi Nasional.
Penerapan sistem demokrasi multi‐partai dan sistem presidensiil yang
dilahirkan oleh Pemilu Tahun 1999 mengharuskan Presiden membentuk pemerintahan koalisi
yang cendrung tidak stabil. Karena itu untuk menjaga agar pelayanan publik dan
pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan dapat berjalan secara kontinyu
dan relatif stabil, perlu dibangun Aparatur Sipil Negara yang profesional dan
cukup independen dari struktur politik pemerintahan negara.
Untuk menciptakan Aparatur Negara seperti
tersebut perlu diadakan adjustment dalam format Aparatur Sipil Negara
dengan memisahkan secara tegas antara jabatan politik (political positions)
pada 3 (tiga) cabang pemerintahan dengan jabatan Aparatur Sipil Negara yang
harus netral dari intervensi politik. Dalam administrasi kepegawaian Republik Indonesia
pemisahan 2 (dua) jabatan tersebut dinyatakan memisahkan antara jabatan negara
dengan jabatan profesi pada 3 (tiga) cabang pemerintahan, serta pelarangan PNS
menjadi pengurus dan anggota partai politik.
Indonesia seharusnya dapat mencapai prestasi
lebih baik dalam pembangunan tata kepemerintahan, pelayanan publik, dan
pengentasan kemiskinan, tapi terkendala oleh rendahnya kapasitas kelembagaan
aparatur Negara dan sektor swasta. Indeks Efektivitas Pemerintahan yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia sejak Tahun 2002 menunjukkan trend naik selama 3
(tiga) tahun terakhir, tapi belum cukup signifikan. Selain itu penyelenggara
pelayanan publik belum bebas dari praktek KKN.
Pelayanan publik dasar seperti pendidikan
wajib, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih, kebersihan, dan
transportasi umum, masih jauh dari kebutuhan masyarakat pendapatan menengah.
Kinerja Indonesia dalam pencapaian 12 (dua belas) sasaran Pembangunan Millenium
menunjukkan belum ada peningkatan kinerja pemerintahan yang cukup signifikan dalam
penyediaan pelayanan dasar. Pada Tahun 2009 Indonesia hanya berhasil mencapai 2
(dua) sasaran, sedangkan 6 (enam) sasaran mungkin dapat tercapai pada Tahun 2016,
dan 4 (empat) sasaran sukar tercapai pada Tahun 2016. Pokoknya pada awal
pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Indonesia belum tercatat sebagai best performer dalam pencapaian sasaran
MDGs.
Beberapa kebijakan pemerintah yang baru,
misalnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah menerapkan asas desentralisasi
untuk mempercepat upaya penciptaan kemakmuran secara adil dan merata antara
daerah dan pusat. Desentralisasi tugas dan kewenangan tersebut membawa
implikasi langsung terhadap kebijakan pembinaan dan pengembangan PNS agar aparatur
negara di pusat dan di daerah secara keseluruhan memiliki kemampuan dan kapabilitas
yang sama untuk melaksanakan tugas‐tugas
yang semakin berat tersebut.
Tapi desentralisasi pemerintahan yang
dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun pertama Refromasi telah menciptakan
suatu jaringan pemerintahan sub‐nasional
yang sangat besar dan kompleks, terdiri atas 33 (tiga puluh tiga) provinsi dan
497 (empat ratus sembilan puluh tujuh) kabupaten dan kota. Untuk memobilisasi
jaringan yang besar tersebut guna mencapai sasaran‐saran pembangunan nasional diperlukan
Aparatur Negara yang profesional dan yang memiliki stabilitas yang tinggi. Untuk
menciptakan Aparatur Sipil Negara seperti tersebut diperlukan netralitas, a‐politisasi, dan independensi yang cukup
besar.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya
Publikasi Bank Dunia yang baru saja dirilis, Investing in Indonesia’s
Institutions for Inclusive and Sustainable Development menunjukkan konsekuensi
dari tranformasi Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah. Untuk itu, Reformasi
generasi kedua diperlukan untuk membangun kapasitas semua lembaga yang bergiat
disektor publik.
Pembangunan Aparatur Negara yang dilaksanakan
oleh pemerintah pasca reformasi melalui Reformasi Birokrasi ternyata masih
bersifat parsial dan tidak menyentuh isu pokok pembangunan kapasitas
kelembagaan Aparatur Negara. Pendekatan parsial tersebut berdampak negatif pada
kinerja Aparatur Negara seperti ditunjukkan oleh berbagai indikator yang
diterbitkan oleh beberapa lembaga multilateral dan bilateral internasional.
Misalnya, Indeks Efektivitas Pemerintahan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia
sejak 2002 menunjukkan trend naik selama 3 (tiga) tahun terakhir, tapi belum
cukup signifikan.
1. Efektivitas Pemerintahan Masih Rendah
Indeks Efektivitas Pemerintahan Indonesia
menunjukkan peningkatan dari 37,0 pada Tahun 2005, menjadi 38,9 pada Tahun
2006, dan 41,7 pada Tahun 2007. Indeks ini menunjukkan peningkatan kemampuan
pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan publik dan membuat kebijakan yang
paramater pengukurannya meliputi kualitas pelayanan publik, kualitas birokrasi,
kompetensi aparat pemerintah, dan independensi PNS terhadap tekanan politik.
Keseluruhan indeks tersebut mencerminkan kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintah.
2. Pelayanan Publik Semakin Tertinggal Oleh
Keperluan Publik
Penyelenggara pelayanan publik yang merupakan
salah satu kewajiban konstitutional Pemerintah ternyata belum bebas sepenuhnya
dari praktek ekonomi biaya tinggi dan praktek KKN yang belakangan ini terungkap
dari kasus makelar hukum, makelar pajak, serta makelar lainnya.
Pelayanan publik dasar, antara lain
transportasi publik, pendidikan wajib, pelayanan kesehatan, penyediaan air
bersih, kebersihan, dan telekomunikasi, belum mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat pendapatan menengah, baik secara kuantitatif dan kualitatif.
Kinerja Indonesia dalam pencapaian 12 (dua
belas) sasaran Pembangunan Milenium menunjukkan kurang mampunya birokrasi
aparatur negara itu. Pada 2009 Indonesia hanya berhasil mencapai 2 (dua)
sasaran, sedangkan 6 (enam) sasaran mungkin dapat tercapai pada 2016, dan 4 (empat)
sasaran sukar tercapai pada Tahun 2016. Pokoknya pada awal pemerintahan kedua
Presiden SBY, Indonesia belum tercatat sebagai best performer dalam
pencapaian sasaran MDGs.
Untuk mempertahankan secara berkelanjutan
prestasi yang telah dicapai dalam pembangunan demokratisasi dan untuk
meningkatkan kinerja ekonomi nasional, sangat diperlukan peningkatan kapasitas
kelembagaan Aparatur Sipil Negara yang berkemampuan tinggi dalam reformasi
kepemerintahan, menyelenggarakan pelayanan publik bermutu, dan mempersempit
disparitas kemiskinan yang semakin lebar antar daerah. Peningkatan kapasitas
tersebut hanya dapat terjadi bila Pemerintah mengadakan reformasi sistem manajemen
SDM Aparatur Negara dalam waktu 15‐20
tahun ke depan.
Untuk menghasilkan Aparatur Sipil Negara
seperti tersebut, Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara ini
disusun untuk mengatur ketentuan pokok tentang pengaturan dan pengelolaan Aparatur
Sipil Negara sebagai profesi bagi para pegawai negeri sipil yang bekerja pada
semua instansi pemerintah pusat, sekretariat lembaga Negara, sekretariat
lembaga nonkepementerian, instansi pemerintah daerah, dan perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri. Rancangan Undang-Undang ini akan menerapkan sistem
manajemen pegawai yang berbasis jabatan (position based personnel management
system) sebagai pengganti sistem manajemen pegawai berbasis karir (career
based personnel management system) yang diterapkan melalui Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
3. Kesejahteraan Pegawai Dan Pensiunan Pegawai
Masih Belum Memadai
Kesejahteraan pegawai dan kesejahteraan
pensiun pegawai merupakan bagian manajemen kepegawaian Aparatur Sipil Negara
yang hendak diperbaiki oleh melalui Rancangan Undang-Undang ini. Diharapkan dengan
menerapkan sistem penggajian skala tunggal yang berbasis kinerja, ditambah
dengan tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan regional, secara bertahap akan
dapat ditingkatkan kesejahteraan pegawai Aparatur Sipil Negara. Dengan
kesejahteraan yang lebih tinggi pemberantasan praktek KKN di instansi
Pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan semakin ditingkatkan, sehingga
tercipta Aparatur Sipil Negara yang bersih dari praktek KKN. Rancangan Undang-Undang
ini juga mengusulkan perubahan terhadap sistem pensiun “pay as you go” yang
sangat membebani APBN dan APBD menjadi sistem “fully funded” yang akan
dilaksanakan terhadap semua pegawai Aparatur Sipil Negara yang diangkat pada 1
Januari 2012. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang diangkat sebelum 1 Januari
2012 akan tetap menggunakan sistem “pay as you go” sehingga Pemerintah
tidak perlu menyediakan kapitalisasi Dana Pensiun yang sangat besar untuk
membayar kewajiban yang lalai dipenuhi pemerintah untuk lebih kurang 2.4 juta
pensiunan PNS dan untuk 4.7 juta PNS yang masih aktif pada saat ini.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK
1. Tujuan
Tujuan naskah akademik adalah sebagai berikut:
a. Memberikan
landasan pemikiran yang obyektif dan komprehensif tentang pokok‐pokok peraturan tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN).
b. Memberikan
arah dan ruang lingkup kebijakan dalam reformasi Aparatur Sipil Negara.
c. Sebagai landasan pemikiran tentang Profil
Aparatur Sipil Negara yang sesuai kekuatannya dengan tuntutan pemerintahan
Negara yang demokratis, desentralistis, serta berkemampuan menyelenggarakan
pelayanan publik serta tugas‐tugas
pemerintahan dan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat yang lebih makmur serta
mendukung daya saing nasional.
2. Kegunaan
Kegunaan Naskah Akademik adalah:
a. Sebagai
dasar konseptual dalam penyusunan pasal‐pasal
dan penjelasan RUU Aparatur Sipil Negara.
b. Sebagai
landasan pemikiran bagi anggota DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU Aparatur
sipil Negara.
c. Sebagai rujukan bagi semua pihak, DPR,
Pemerintah, serta pihak‐pihak
terkait dalam mereformasi Aparatur Sipil Negara.
D. METODOLOGI
Naskah Akademik ini dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:
1. Yuridis
normatif melalui studi pustaka untuk menelaah sistem Civil Service yang
diterapkan diberbagai Negara baik yang berupa perundang‐undangan maupun hasil‐hasil penelitian, pengkajian, dan referensi
lainnya yang terkait dengan manajemen sumber daya manusia aparatur Negara.
2. Yurisdis
empiris yang dilakukan dengan menelaah data primer yang dikumpulkan
langsung dari para pengelola sumber daya Aparatur Sipil Negara baik pada
instansi pemerintah pusat maupun instansi pemerintah daerah.
3. Analisis data dilakukan melalui analisis
kebijakan publik.
BAB II
MANAJEMEN SUMBER DAYA APARATUR SIPIL NEGARA:
KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS
A. MANAJEMEN SUMBER DAYA APARATUR SIPIL NEGARA
Dalam dua dekade ini pengelolaan pegawai
dalam organisasi telah bergeser dari pendekatan administrasi kepegawaian
menjadi manajemen sumber daya manusia. Secara ringkas Manajemen Sumber Daya
Manusia adalah proses pengadaan sumber daya paling penting bagi suatu
organisasi, yaitu sumber daya manusia, yang mencakup pengadaan sumber daya manusia
yang diperlukan organisasi untuk mencapai tujuannya, mengembangkan kapasitasnya,
memanfaatkan kapasitas dumber daya manusia yang dimiliki untuk mencapai tujuan
organisasi, mempertahankan sumber daya terbaik dengan menerapkan sistem kompensasi
yang sesuai dengan tanggungjawab dan kinerjanya dalam organisasi, serta menjamin
loyalitas kepada organisasi melalui penyediaan jaminan kesejahteraan yang memadai
baik pada saat aktif maupun setelah pensiun.
Sejak menyatakan kemerdekaannya sampai saat
ini Indonesia masih menerapkan pendekatan “administrasi personalia” atau
“administrasi kepegawaian” dalam pengelolaan pegawai yang menjalanakan tugas‐tugas pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan Negara. Dalam sistem pemerintahan yang relatif stabil dan
pengelolaan sistem ekonomi nasional yang masih tertutup dan belum banyak
persaingan, sistem administrasi kepegawaian seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 juncto Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 relatif masih cukup
memadai. Namun pada sistem pemerintahan Negara yang semakin demokratis, semakin
desentralistis, dan ekonomi yang semakin terbuka, personalia yang dikelola
dengan pendekatan “administrasi pegawai” terasa tidak lagi mampu mendukung
sistem politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang telah mengalami
perubahan fundamental sejak gelombang Reformasi melanda Indonesia pada Tahun 1998.
Secara teoritis pendekatan Manajemen Sumber
Daya Manusia (Human Resource Management) yang dipraktekkan secara
luas pada organisasi bisnis di Indonesia dan di negara maju digunakan sebagai
landasan teoritis Manajemen Sumber Daya Aparatur Sipil Negara yang hendak
ditetapkan dengan RUU Aparatur Sipil Negara.
RUU tentang Aparatur Sipil Negara ini
mengusulkan pekerjaan pada instansi pemerintahan di tingkat nasional dan sub‐nasional serta perwakilan Republik Indonesia
ditetapkan sebagai profesi yang bebas dari intervensi politik, bebas dari
praktek penyalahgunaan wewenang seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, yang
memiliki nilai‐nilai
dasar, kode etik, standar kualifikasi dan kompetensi tententu yang
pelaksanaannya ditetapkan dengan dengan Undang‐Undang. Dengan demikian Manajemen Sumber Daya Apartur
Sipil Negara yang diterapkan dalam RUU ini.
Penelitian empiris tentang Sistem Manajemen
Sumber Daya Manusia pada kurun waktu Tahun 1980‐2000 telah memberikan perhatian yang amat besar pada
pengaruh praktek Manajemen SDM terhadap kinerja organisasi, antara lain dengan
variable‐variabel utama, peningkatan komitmen pegawai,
penurunan bolos‐kerja
dan pindah‐kerja, peningkatan ketrampilan, yang menimbulkan
efek positif, yaitu meningkatya produktivitas kerja.
RUU Aparatur Sipil Negara ini menerapkan
salah satu model terbaru Management Sumber Daya Manusia yaitu Model
Konfigurasional (Configurational Model) yang mengasumsikan pentingnya kesesuaian
antara “strategi” organisasi dengan kebijakan dan praktek Manajemen Sumber Daya
Manusia.
Berlandaskan pada asumsi teoritis dan empiris
sebagaimana diuraikan tadi, Manajemen Sumber Daya Aparatur Sipil Negara yang
diajukan dalam RUU bertujuan untuk menciptakan sumber daya Aparatur Sipil
Negara Indonesia yang mampu mendukung secara efektif pelaksanaan strategi
pelaksanaan tugas‐tugas
pemerintahan dan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan
Nasional yaitu mewujudkan Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri pada Tahun 2025.
Untuk mewujudkan Sumber Daya Aparatur Sipil
Negara dengan jumlah, komposisi, dan mutu sesuai dengan “strategi” pemerintahan
Negara dan pembangunan nasional sesuai dengan amanat UUD NKRI Tahun 1945, yang
dilaksanakan secara terencana dan bertahap dengan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahun 2005‐2024,
arah kebijakan dalam penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa
dari perspektif manajemen sumber daya aparatur sipil Negara adalah dengan
menetapkan Aparatur Sipil Negara sebagai suatu profesi terhormat yang bebas dari
intervensi politik, bebas dari praktek KKN, dan memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang diatur dengan peraturan perundang‐undangan.
RUU Aparatur Sipil Negara mengandung
ketentuan‐ketentuan pokok tentang manajemen profesi
Aparatur Sipil Negara yang mencakup ketentuan‐ketentuan mengenai norma‐norma dasar, etika profesi untuk Aparatur Sipil Negara,
kualifikasi dan standar kompetensi untuk tiap‐tiap jabatan dalam profesi Aparatur Sipil Negara,
pengadaan, pembinaan, pemberhentian, penggajian dan kesejahteraan, dan
penyelesaian sengketa antara pegawai dan atasan, serta tata kelembagaan yang
mengatur profesi tersebut.
Unsur‐unsur manajemen kepegawaian yang diatur dalam
RUU ASN ini meliputi:
1. Kelembagaan Dalam Pembinaan Aparatur Sipil
Negara
RUU ASN ini disusun sebagai pelaksanaan dari
UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) yang menetapkan penyelenggara tertinggi
pelaksanaan pemerintahan Negara termasuk fungsi pembinaan terhadap profesi
Aparatur Sipil Negara dan dalam manajemen pengembangan sumber daya Aparatur
Negara berada pada Presiden Republik Indonesia Dalam pelaksanaan pembinaan TNI sebagai
Aparatur Militer Negara, Presiden mendelegasikan kewenangan administrasi dan personalia
kepada Menteri Pertahanan, dan kewenangan penggunaan kekuatan militer kepada
Panglima TNI. Dalam pembinaan Polri, Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada
Kapolri.
Dalam pembinaan pegawai ASN, sesuai
ketetapan UUD NKRI Tahun 1945 Presiden dibantu oleh Menteri,
KASN, LAN, dan BKN dengan rincian: 1) Menteri berkaitan dengan kewenangan perumusan
kebijakan umum pendayagunaan Pegawai ASN; 2) KASN berkaitan dengan kewenangan
perumusan kebijakan pembinaan profesi ASN dan pengawasan pelaksanaannya pada
Instansi dan Perwakilan; 3) LAN berkaitan dengan kewenangan penelitian dan pengembangan
administrasi pemerintahan negara, pembinaan pendidikan dan pelatihan Pegawai
ASN, dan penyelenggaraan Akademi Aparatur Sipil Negara; dan 4) BKN berkaitan dengan
kewenangan pembinaan manajemen Pegawai ASN, penyelenggaraan seleksi nasional calon
Pegawai ASN, pembinaan Pusat Penilaian Kinerja Pegawai ASN, pemeliharaan dan pengembangan
Sistem Informasi Pegawai ASN, dan pembinaan pendidikan fungsional analis kepegawaian.
Menteri berwenang menetapkan kebijakan
pendayagunaan Pegawai ASN sebagai berikut: a) menetapkan
analisis keperluan Pegawai ASN untuk semua Instansi dan Perwakilan; b) menetapkan
klasifikasi jabatan Pegawai ASN; c) menetapkan skala penggajian dan tunjangan Pegawai
ASN; d) menetapkan sistem pensiun Pegawai ASN; e) melakukan pemindahan Pegawai
ASN antar-jabatan, antar-daerah, dan antar‐Instansi;
f) memberhentikan Pegawai ASN yang diangkat sebagai Pejabat Negara
dari jabatan organik ASN; g) mengaktifkan status kepegawaian
Pegawai ASN yang telah menyelesaikan tugas sebagai Pejabat Negara; h) mengangkat
kembali Pegawai ASN yang telah menyelesaikan masa bakti sebagai Pejabat Negara
pada jabatan ASN; i) menindak Pejabat yang Berwenang atas penyimpangan terhadap
tata cara manajemen Pegawai ASN yang ditetapkan dengan peraturan
perundangundangan; dan j) mengoordinasi pelaksanaan tugas BKN
dan LAN.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
bebas dari campur tangan dan/atau intervensi kekuasaan negara. KASN dimaksud berwenang:
a) menetapkan peraturan mengenai kebijakan pembinaan profesi ASN; b) melakukan
pengawasan pelaksanaan peraturan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c) melakukan
penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran peraturan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a; dan d) melakukan manajemen kepegawaian (Aparatur) Eksekutif Senior.
Selain wewenang di atas, KASN berwenang
menyampaikan saran kepada Presiden, Menteri, kepala daerah,
atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan peningkatan
kekuatan dan kemampuan ASN.
Lembaga Administrasi Negara (LAN)
berwenang: a) melakukan kegiatan pengkajian; b) merencanakan dan menyelenggarakan
pembinaan pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kapasitas ASN;
dan c) menyelenggarakan Akademi Aparatur Sipil Negara.
Adapun Badan Kepegawaian Negara (BKN)
berwenang menyelenggarakan pembinaan manajemen kepegawaian ASN, seleksi
nasional calon Pegawai ASN, menyelenggarakan Pusat Penilaian Kinerja Pegawai
ASN, dan pembinaan pendidikan fungsional analis
kepegawaian.
BKN bertanggung jawab memelihara dan
mengembangkan Sistem Informasi Pegawai ASN melalui: a) pengumpulan data dan pencatatan
informasi Pegawai ASN; b) pemberian informasi data Pegawai ASN; dan c) penataan
administrasi Pegawai ASN.
2. Pengadaan Pegawai ASN dan Pegawai Aparatur
Eksekutif Senior
a. Pengadaan PNS dan PTTP
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 menerapkan formasi dalam penerimaan PNS baru pada setiap
tahun anggaran. Formasi adalah prakiraan jumlah pegawai baru yang harus
diangkat untuk menggantikan PNS yang pensiun dan meninggalkan jabatan negeri
karena meninggal, berhalangan tetap, atau diperhentikan baik secara terhormat
maupun tidak terhormat. Jumlah formasi setiap tahun kira‐kira 4% dari jumlah total PNS. Pada sistem
formasi pengadaan PNS baru setiap tahun dilakukan berdasarkan tingkat dan jenis
pendidikan calon. Akibatnya banyak terjadi ketidakcocokan antara keahlian yang
diperlukan oleh jabatan dengan pegawai yang diterima untuk jabatan tersebut.
Selain itu penggunaan sistim formasi telah menyuburkan praktek jual beli
jabatan Aparatur Sipil Negara seperti ditunjukkan dalam penelitian Stein Kristiansen[4]
di beberapa daerah di Indonesia.
Untuk mengatasi praktek KKN tersebut dalam
pengadaan pegawai ASN, RUU Aparatur Sipil Negara mengusulkan penerapan sistem
pengadaan yang merupakan best practices di banyak Negara maju yaitu
sistem pengadaan pegawai berbasis jabatan (position based personnel management
system) dengan cara mengadakan seleksi terbuka bagi pegawai Aparatur Sipil
Negara. Selanjutnya perlu dilakukan pemilahan yang tegas antara pegawai ASN
yang menjalankan tugas dan fungsi manajemen kebijakan pemerintahan Negara
dengan pegawai yang menjalankan fungsi pelayanan publik dasar seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, serta fungsi pendukung manajemen kebijakan pemerintahan.
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang menjalankan fungsi manajemen kebijakan
pemerintahan Negara dalam RUU ini disebut Pegawai Sipil Negara. Pegawai ASN
yang menjalankan fungsi pelayanan publik dalam RUU ini disebut Pegawai Tidak
Tetap Pemerintah[5]. Seleksi
calon pegawai dalam pengadaan dilakukan dengan menerapkan prinsip merit melalui
perbandingan obyektif antara kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan
untuk setiap jabatan dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh
calon.
Prinsip dasar yang harus dipegang teguh dalam pengadaan PNS dan PTTP baru
adalah:
1) Kebijakan
tentang pengadaan tidak boleh menguntungkan sekelompok orang atau pribadi
tertentu.
2) Seluruh proses
pengadaan harus dilakukan secara transparan.
3) Semua calon
memiliki hak yang sama dalam proses pengadaan.
4) Semua calon yang
memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi memiliki hak yang sama untuk
diterima sebagai calon pegawai ASN.
5) Tidak
diskriminatif baik terhadap suku, agama, ras, gender, dan tempat tinggal.
6) Tim penilai harus berlaku adil dan dibuktikan
dengan sumpah.
Pengadaan calon Pegawai ASN merupakan kegiatan untuk
mengisi jabatan yang lowong. Pengadaan calon Pegawai ASN di Instansi dilakukan
berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Menteri. Pengadaan calon Pegawai ASN dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi,
pengumuman hasil seleksi, masa percobaan,
dan pengangkatan menjadi Pegawai ASN.
Seleksi penerimaan calon Pegawai ASN
dilaksanakan secara nasional oleh BKN untuk mengevaluasi
secara obyektif kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh pelamar secara jujur, objektif, transparan, akuntabel, dan
melalui kompetisi yang sehat. Peserta seleksi
calon Pegawai ASN yang lulus berhak menerima tanda lulus sebagai calon Pegawai
Aparatur Sipil Negara. Calon Pegawai ASN yang
mendapatkan tanda lulus dari BKN berhak mendaftarkan
diri untuk mengikuti seleksi calon Pegawai ASN yang diselenggarakan oleh
Instansi dan Perwakilan yang terdiri dari 3 (tiga)
tahap, yaitu seleksi administrasi, seleksi umum,
dan seleksi khusus. Seleksi administrasi dilaksanakan oleh Instansi masing‐masing untuk memeriksa kelengkapan
persyaratan. Seleksi khusus diselenggarakan oleh Instansi dan Perwakilan dilakukan dengan membandingkan secara obyektif
kualifikasi dan kompetensi yang
dipersyaratkan jabatan dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki pelamar untuk mendapatkan pelamar yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang paling
sesuai dengan yang diperlukan untuk jabatan yang hendak diisi.
b. Pengadaan Pegawai Aparatur
Eksekutif Senior
Untuk menghasilkan kader pemimpin birokrasi
publik secara sistematis dan berkesinambungan, RUU Aparatur Sipil Negara
mengusulkan pembentukan suatu Aparatur Eksekutif Senior (AES) sebagai bagian
dari Aparatur Sipil Negara. Pegawai AES berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil
dengan golongan IV/c sampai dengan IV/f yang dipilih sebagai pegawai AES karena
menonjol dalam kepemimpinan, menunjukkan keteladan dalam pengamalan nilai‐nilai dasar Aparatur Sipil Negara,
berpengalaman luas dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah diberbagai sektor,
dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan fungsinya.
AES merupakan bagian dari Aparatur Sipil
Negara Republik Indonesia yang anggotanya adalah para pejabat karir yang
menduduki jabatan langsung di bawah Pejabat Eksekutif yang berstatus sebagai Pejabat
Negara. Para pejabat tersebut diharapkan menjadi penggerak reformasi birokrasi untuk
meningkatkan kinerja pemerintah pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan
publik, meningkatkan integritas instansi pemerintahan, dan dalam membangun tata
kepemerintahan yang baik.
Pegawai AES yang bertugas sebagai eksekutif
dan berstatus PNS dan yang bertugas sebagai ahli (non‐eksekutif) dan berstatus PP adalah pegawai
Aparatur Sipil Negara R.I. yang dapat ditempatkan diseluruh Indonesia. Jumlah
total pegawai AES, yang memegang jabatan eksekutif maupun non‐eksekutif, yang memiliki Gol IV/c sampai IV/f
(Gol IV/f adalah diusulkan untuk jabatan Wakil Menteri, Wakil Gubernur,
Sekretaris Jenderal, Sekretaris Utama, dan Sekretaris Daerah Provinsi.
Tujuan
Pembentukan AES
• Memperbaiki
manajemen cabang eksekutif Pemerintahan.
• Menyeleksi
dan mengembangkan kader eksekutif senior pemerintahan yang memiliki kemampuan
tinggi dalam kepemimpinan dan managemen pemerintahan.
• Memberikan
tanggungjawab kepada AES atas kinerja individual dan organisasi.
• Menerapkan
sistem penggajian, penugasan, dan promosi atas dasar kinerja.
• Menyediakan sistem eksekutif sesuai dengan
kepentingan publik dan bebas dari intervensi politik.
Jabatan Pada AES
AES mencakup jabatan struktural (manajerial),
pengawasan, dan spesialis, yang memerlukan standar kompetensi 7‐9 dalam Klasifikasi Nasional Kualifikasi
Indonesia (KNKI). Jabatan dengan kualifikasi 7‐9 memerlukan pendidikan S2 dan S3 dalam bidang yang relevan,
pelatihan, pengalaman dan prestasi kerja yang tinggi, dan dalam PGPS merupakan jabatan
dengan Gol IV/c ke atas, dan tidak tergolong sebagai Pejabat Negara. AES merupakan
pejabat puncak pada Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional.
Dalam sistem administrasi kepegawaian yang
berlaku saat ini, jabatan pada AES mencakup jabatan Eselon 1 dan Eselon 2 atau
yang disetarakan.
Pengadaan
pegawai AES
Pengadaan pegawai AES dilakukan terpisah dari pengadaan
PNS dan PP. PNS yang menduduki jabatan Administrasi dan PP yang menduduki
jabatan Fungsional yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti seleksi pegawai
AES. PNS dan PP yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi yang
diperlukan dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES yang lowong. Sesuai
peraturan yang berlaku, calon dari dunia bisnis atau organisasi non‐pemerintah yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang
sesuai juga dapat mengikuti seleksi calon pegawai AES. Jumlah pegawai AES pada
jabatan struktural eksekutif lebih kurang berjumlah 6.500 orang (Gol IV/c sampai
IV/e yang menduduki eselon 1 dan 2. Disamping itu pegawai Jabatan Fungsional
yang menjalankan tugas penelitian dan perekayasa, perencanaan, analisis
kebijakan, analisis anggaran, dan yang sejenis, dapat ditetapkan sebagai
pegawai AES non‐struktural.
Jumlah total pejabat yang dikategorikan sebagai pegawai AES pada instansi di
Pusat dan daerah kira‐kira berjumlah
30.000 orang.
3. Jabatan
dan Penempatan
Dalam praktek sehari‐hari kebutuhan
pegawai tidak harus selalui dipenuhi dengan pengadaan pegawai baru, tetapi
dapat juga dilakukan melalui penugasan pegawai dari unit lain dalam suatu
Instansi, melalui pemindahan antara instansi, atau melalui pemindahan antar
daerah. Mutasi pegawai dari suatu pekerjaan atau jabatan ke pekerjaan dan
jabatan lain biasanya disebut penempatan. Oleh Werther dan Davis (2003:261)
penempatan atau mutasi atau pemindahan pegawai antar unit, antar instansi, dan
antar lokasi seperti tersebut diartikan sebagai “penugasan atau penugasan
kembali seorang pegawai pada suatu pekerjaan yang baru.”
Penempatan seorang pegawai ASN pada jabatan pada suatu
jabatan maupun mutasi pada jabatan lain, harus dilakukan sesuai prinsip merit,
artinya harus sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh
pegawai ASN, tidak boleh karena pertimbangan‐pertimbagan lainnya.
Pegawai ASN diangkat dalam jabatan tertentu pada Instansi
dan Perwakilan. Pengangkatan dan penetapan Pegawai ASN dalam jabatan tertentu
ditentukan berdasarkan perbandingan obyektif antara kualifikasi dan kompetensi
pegawai dengan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan. Setiap
jabatan tertentu dimaksud dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan ASN yang
menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja. Klasifikasi
jabatan memuat jenis dan kategori jabatan pada Instansi dan Perwakilan ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas,
tanggungjawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka
susunan satuan organisasi (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974).
Menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, jabatan dibagi menjadi jabatan sruktural dan
fungsional.
a. Jabatan
struktural adalah jabatan yag secara tegas diatur dan ada dalam susunan
organisasi dari instansi yang bersangkutan, misalnya: sekretaris jenderal,
kepala bagian, kepala sub direktorat, kepala seksi, dan sebagainya.
b. Jabatan fungsional adalah jabatan yang tidak
secara jelas disebutkan atau digambarkan dalam bagan susunan organisasi
instansi yang bersangkutan, tetapi jabatan itu harus ada karena fungsinya yang
memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas instansi yang bersangkutan. Jabatan
fungsional dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1) jabatan fungsional khusus (JFK)
adalah jabatan yang hanya ada pada instansi pemerintah tertentu yang didasarkan
pada keahlian substantif. Contoh: Dokter, Peneliti, Guru, Penyuluh Pertanian,
Analis Kepegawaian, dan lain-lain. Pada umumnya JF khusus memiliki angka kredit
sebagai syarat kenaikan pangkat dan tunjangan jabatan; 2) jabatan fungsional
umum (JFU) adalah jabatan yang ada atau mungkin ada pada setiap instansi
pemerintah. JFU bersifat fasilitatif, yaitu menunjang pelaksanaan tugas pokok
instansi pemerintah yang bersangkutan. Contoh: sopir, pengetik, sekretaris, dan
lain-lain.
Jabatan sering dikaitkan dengan pekerjaan dan kedudukan
Pekerjaan adalah sekumpulan kedudukan yang memiliki persamaan dalam tugas‐tugas pokoknya dan berada dalam suatu organisasi. Adapun
kedudukan adalah sekelompok tugas yang dikerjakan oleh seseorang Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Misalnya, suatu departemen atau LPNK memiliki 1000 PNS maka dalam
instansi tersebut terdapat 1.000 kedudukan tanpa memandang jenis pekerjaannya.
Hubungan antara, jabatan, pekerjaan, dan kedudukan secara
skematis dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
Gambar 1.
Bagan Hubungan Jabatan Dengan
Pekerjaan,
dan Kedudukan Pada Suatu Unit
Organisasi
|
|
|
|
Pekerjaan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan
tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam
suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada
keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Berikut tabel jenis Jabatan Fungsional Khusus yang diberikan tunjangan:
Tabel 1. Daftar
Nama Jabatan Fungsional Khusus Tahun 2010
NO
|
JABATAN FUNGSIONAL
|
INSTANSI
PEMBINA
|
RUMPUN
JABATAN
|
PERPRES
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
|
Arsiparis
|
Arsip Nasional Republik
Indonesia
|
Arsiparis,Pustakawan dan yang berkaitan
|
46/2007
|
2.
|
Agen
|
Badan Intelejen Negara
|
Penyidik dan Detektif
|
48/2007
|
3.
|
Analis Kepegawaian
|
Badan Kepegawaian Negara
|
Manajemen
|
45/2007
|
4.
|
Pengamat Meteorologi dan Geofisika
|
Badan Meteorologi dan
Geofisika
|
Fisika, Kimia dan yang berkaitan
|
56/2007
|
5.
|
Pengawas Farmasi dan Makanan
|
Badan Pengawas Obat dan Makanan
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
52/2007
|
6.
|
Pengawas Radiasi
|
Badan Pengawas Tenaga Nuklir
|
Fisika, Kimia dan yang berkaitan
|
57/2007
|
7.
|
Perencana
|
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
|
Manajemen
|
44/2007
|
8.
|
Pranata Komputer
|
Badan Pusat Statistik
|
Kekomputeran
|
39/2007
|
9.
|
Statistisi
|
Badan Pusat Statistik
|
Matematika,Statistika dan yang berkaitan
|
40/2007
|
10.
|
Pranata Nuklir
|
Badan Tenaga Atom Nasional
|
Fisika, Kimia dan yang berkaitan
|
55/2007
|
11.
|
Surveyor Pemetaan
|
BAKOSURTANAL
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
37/2007
|
12.
|
Penyuluh Keluarga
Berencana
|
BKKBN
|
Ilmu Sosial dan yang
berkaitan
|
64/2007
|
13.
|
Auditor
|
BPK dan BPKP
|
Akuntan dan Anggaran
|
66/2007
|
14.
|
Perekayasa
|
BPPT
|
Peneliti dan Perekayasa
|
31/2007
|
15.
|
Teknisi Penelitian dan
Perekayasaan
|
BPPT
|
Peneliti dan Perekayasaan
|
31/2007
|
16.
|
Jaksa
|
Kejaksaan Agung
|
||
17.
|
Penyuluh Agama
|
Kementerian Agama
|
Keagamaan
|
59/2007
|
18.
|
Penghulu
|
Kementerian Agama
|
Keagamaan
|
73/2007
|
19.
|
Penyelidik Bumi
|
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
38/2007
|
20.
|
Pengamat Gunung Api
|
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
|
Fisika, Kimia dan yang berkaitan
|
67/2007
|
21.
|
Inspektur Ketenagalistrikan
|
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
|
22.
|
Inspektur Minyak dan Gas Bumi
|
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
|
23.
|
Inspektur Tambang
|
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
|
24.
|
Pamong Budaya
|
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
|
Penerangan dan Seni Budaya
|
74/2007
|
25.
|
Pemeriksa Merk
|
Kementerian Hukum dan HAM
|
Hak Cipta, Paten dan Merek
|
41/2007
|
26.
|
Pemeriksa Paten
|
Kementerian Hukum dan HAM
|
Hak Cipta, Paten dan Merek
|
41/2007
|
27.
|
Perancang Peraturan
Perundang‐undangan
|
Kementerian Hukum dan HAM
|
Hukum dan Peradilan
|
43/2007
|
28.
|
Penyuluh Kehutanan
|
Kementerian Kehutanan
|
Ilmu Hayat
|
33/2007
|
29.
|
Pengendali Ekosistem Hutan
|
Kementerian Kehutanan
|
Ilmu Hayat
|
34/2007
|
30.
|
Polisi Kehutanan
|
Kementerian Kehutanan
|
Penyidik dan Detektif
|
49/2007
|
31.
|
Pengawas Benih Ikan
|
Kementerian Kelautan dan Perikanan
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
32.
|
Pengawas Perikanan
|
Kementerian Kelautan dan Perikanan
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
33.
|
Pengendali Hama dan Penyakit Ikan
|
Kem. Kelautan dan Perikanan
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
34.
|
Apoteker
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
35.
|
Asisten Apoteker
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
36.
|
Bidan
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
37.
|
Dokter
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
38.
|
Dokter Gigi
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
39.
|
Epidemiologi Kesehatan
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
40.
|
Entomolog Kesehatan
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
41.
|
Fisioterapis
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
42.
|
Nutrisionis
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
43.
|
Penyuluh Kesehatan
Masyarakat
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
44.
|
Perawat
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
45.
|
Perawat Gigi
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
46.
|
Perekam Medis
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
47.
|
Pranata Laboratorium
Kesehatan
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
48.
|
Radiografer
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
49.
|
Sanitarian
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
50.
|
Teknik Elektromedis
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
51.
|
Administrator Kesehatan
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
54/2007
|
52.
|
Okupasi Terapis
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
|
53.
|
Refraksionis Optisien
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
|
54.
|
Terapis Wicara
|
Kementerian Kesehatan
|
Kesehatan
|
|
55.
|
Ortosis Prostesis
|
Kementerian Kesehatan
|
Operator alat‐alat dan elektronik
|
|
56.
|
Pemeriksa Bea dan Cukai
|
Kementerian Keuangan
|
Imigrasi, Pajak dan Ass Profesor yang berkaitan
|
53/2007
|
57.
|
Pemeriksa Pajak
|
Kementerian Keuangan
|
Imigrasi, Pajak dan Ass Profesor yang berkaitan
|
53/2007
|
58.
|
Penilai Pajak Bumi dan
Bangunan
|
Kementerian Keuangan
|
Ass Profesor yang berhubungan dengan keuangan dan penjualan
|
73/2007
|
59.
|
Adikara Siaran
|
Kementerian Keuangan
|
||
60.
|
Andalan Siaran (AS)
|
Kementerian Keuangan
|
||
61.
|
Penyuluh Pajak
|
Kementerian Keuangan
|
Imigrasi, Pajak dan Ass Profesor yang berkaitan
|
|
62.
|
Teknisi Siaran
|
Kementerian Keuangan
|
||
63.
|
Diplomat
|
Kementerian Luar Negeri
|
||
64.
|
Teknik Jalan dan Jembatan
|
Kementerian Pekerjaan Umum
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
36/2007
|
65.
|
Teknik Pengairan
|
Kementerian Pekerjaan Umum
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
36/2007
|
66.
|
Teknik Penyehatan
Lingkungan
|
Kementerian Pekerjaan Umum
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
36/2007
|
67.
|
Teknik Tata Bangunan dan Perumahan
|
Kementerian Pekerjaan Umum
|
Arsitek, Insinyur dan yang berkaitan
|
36/2007
|
68.
|
Dosen
|
Kementerian Pendidikan Nasional
|
Pendidikan tingkat
Pendidikan Tinggi
|
65/2007
|
69.
|
Pamong Belajar
|
Kementerian Pendidikan Nasional
|
Pendidikan Lainnya
|
|
70.
|
Pengawas Sekolah
|
Kementerian Pendidikan Nasional
|
Pendidikan Lainnya
|
|
71.
|
Penilik
|
Kementerian Pendidikan Nasional
|
Pendidikan Lainnya
|
|
72.
|
Guru
|
Kementerian Pendidikan Nasional
|
||
73.
|
Penera
|
Kementerian Perdagangan
|
Pengawas Kualitas dan Pengawas
|
|
74.
|
Pengawas Keselamatan
Pelayaran
|
Kementerian Perhubungan
|
Teknisi dan Pengontrol Kapal dan Pesawat
|
|
75.
|
Pengendali Frekuensi Radio
|
Kementerian Perhubungan
|
Operator alat‐alat optik dan elektronik
|
|
76.
|
Penguji Kendaraan
Bermotor
|
Kementerian Perhubungan
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
|
77.
|
Teknisi penerbangan
|
Kementerian Perhubungan
|
Teknisi dan Pengontrol Kapal dan Pesawat
|
|
78.
|
Penyuluh Perindustrian dan Perdagangan
|
Kementerian Perindustrian
|
Ilmu Sosial yang berkaitan
|
60/2007
|
79.
|
Penguji Mutu Barang
|
Kementerian Perindustrian
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
|
80.
|
Medik Veteriner
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
81.
|
Paramedik Veteriner
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
82.
|
Pengawas Benih Tanaman
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
83.
|
Penyuluh Pertanian
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
84.
|
Pengawas Bibit Ternak
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
85.
|
Pengendali Organisme
Pengganggu Tumbuhan
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
86.
|
Pengawas Mutu Pakan
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
87.
|
Pengawas Mutu Hasil
Pertanian
|
Kementerian Pertanian
|
Ilmu Hayat
|
32/2007
|
88.
|
Pekerja Sosial
|
Kementerian Sosial
|
Ilmu Sosial dan yang
berkaitan
|
61/2007
|
89.
|
Perantara Hubungan
Industrial
|
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
|
Hukum dan Peradilan
|
42/2007
|
90.
|
Pengawas Ketenagakerjaan
|
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
|
Pengawas Kualitas dan Keamanan
|
51/2007
|
91.
|
Instruktur
|
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
|
Pendidikan lainnya
|
58/2007
|
92.
|
Pengantar Kerja
|
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
|
Ilmu Sosial dan yang
berkaitan
|
62/2007
|
93.
|
Penggerak Swadaya
Masyarakat
|
Kementerian Tenaga Kerja dan ransmigrasi
|
Ilmu Sosial dan yang
berkaitan
|
63/2007
|
94.
|
Pengendalian Dampak Lingkungan
|
Kementrian Negara Lingkungan Hidup
|
Ilmu Hayat
|
35/2007
|
95.
|
Widyaiswara
|
Lembaga Administrasi Negara
|
Pendidikan lainnya
|
59/2007
|
96.
|
Peneliti
|
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
Matematika, Statistika dan yang berkaitan
|
30/2007
|
97.
|
Pranata Hubungan
Masyarakat
|
Lembaga Informasi Nasional
|
Penerangan dan Seni Budaya
|
29/2007
|
98.
|
Operator Transmisi Sandi
|
Lembaga Sandi Negara
|
Kesehatan
|
|
99.
|
Sandiman
|
Lembaga Sandi Negara
|
Penyidik dan Detektif
|
|
100.
|
Pustakawan
|
Perpustakaan Nasional
|
Arsiparis,Pustakawan dan yang berkaitan
|
47/2007
|
101.
|
Penerjemah
|
Sekretariat Negara
|
Manajemen
|
4. Pengembangan
Karir Pegawai ASN
Pegawai ASN sebagai modal utama Aparatur Negara merupakan
unsur vital yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan Negara dan tujuan
politik pemerintah. Karena itu salah satu tugas utama pengembangan sumber daya
ASN adalah mempersiapkan calon pegawai ASN agar mampu menjalankan tugas dan
fungsi dari jabatan yang diberikan kepadanya secara profesional, dan selalu
mengembangkan kapasitas pegawai ASN agar selalu maju dalam menjalankan
tugasnya.
Salah satu peran pegawai ASN yang sangat ditekankan dalam
RUU ASN ini adalah menjadi unsur perekat NKRI. Untuk membangun peran tersebut
serta guna membangun kualitas kepemimpinan pada jabatan publik, pegawai baru
Aparatur Eksekutif, Aparatur fungsional khususnya yang menjalankan fungsi
penegakan hukum, yaitu hakim, jaksa, dan anggota Polri, diwajibkan untuk
mengikuti pendidikan Aparatur Sipil Negara sebelum ditempatkan pada jabatan
masing‐masing. Pendidikan tersebut dilakukan oleh Akademi
Aparatur Sipil Negara, yang secara administratif maupun teknis akademik berada
di bawah LAN.
Pegawai Aparatur Administrasi wajib mengikuti Diklat Pra‐jabatan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Regional LAN,
Pusdiklat Pemprov, atau Pusdiklat Kementerian dan Lembaga Non-kementerian, dengan
mengunakan kurikulum yang dikembangkan oleh LAN.
5. Promosi
dan Penilaian Kinerja
Setiap Pegawai ASN berhak memperoleh pengembangan
kompetensi dan promosi (dinaikkan jabatannya) secara kompetitif. Promosi
pegawai ASN dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian kompetensi, integritas,
moralitas oleh Tim Penilai Kinerja Pegawai ASN.
Kompetensi meliputi: 1) kompetensi teknis yang diukur
dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis; 2) kompetensi manajerial yang diukur dari
tingkat pendidikan, pelatihan struktural/manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan 3) kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman
kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya
sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
Integritas diukur dari kejujuran, kepatuhan terhadap
peraturan perundang‐undangan, kemampuan
bekerja sama dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
moralitas diukur dari penerapan dan pengamalan nilai‐nilai etika agama, budaya, dan sosial kemasyarakatan.
Promosi dilakukan berdasarkan perbandingan objektif
antara kompetensi yang dimiliki calon dengan kompetensi yang dipersyaratkan
untuk jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama,
kreativitas, serta pertimbangan dari Tim Penilai Kinerja Pegawai ASN pada
Instansi masing‐masing, tanpa
membedakan gender, suku, agama, ras, dan golongan. Setiap Pegawai ASN yang
memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan
yang lebih tinggi. Promosi Pegawai Jabatan Administratif dan Pegawai Jabatan
Fungsional dilakukan oleh Pejabat yang Berwenang setelah mendapat pertimbangan
Tim Penilai Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Instansi masing-masing.
Promosi tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan
karier ASN yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas.
Tim Penilai Kinerja Pegawai ASN dibentuk oleh pimpinan Instansi masing‐masing yang akan diatur dalam Peraturan KASN.
Untuk penilaian kinerja Pegawai ASN, kewenangannya ada
pada Pejabat yang Berwenang pada Instansi masing‐masing. Penilaian
kinerja Pegawai ASN didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari
Pegawai ASN. Penilaian kinerja Pegawai ASN dapat juga dilakukan oleh bawahan
kepada atasannya. Penilaian kinerja Pegawai ASN dilakukan berdasarkan
perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit/organisasi, dengan memperhatikan
target, sasaran, hasil, dan manfaat yang dicapai.
Penilaian kinerja Pegawai ASN dilakukan secara objektif,
terukur, akuntabel, partisipasi, dan transparan. Hasil penilaian kinerja
Pegawai ASN disampaikan kepada Tim Penilai Kinerja Pegawai ASN. Hasil penilaian
kinerja Pegawai ASN dimanfaatkan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan
aparatur, dan untuk selanjutnya dijadikan sebagai persyaratan dalam
pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi,
mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
6. Penggajian, Tunjangan, Kesejahteraan Sosial dan
Penghargaan bagi Pegawai ASN
Salah satu unsur manajemen Aparatur Sipil Negara adalah
penggajian, tunjangan, kesejahteraan, dan penghargaan. Gaji, tunjangan, dan
kesejahteraan yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawabnya sekaligus merupakan hak pegawai ASN .
Gaji harus dapat memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraan Pegawai ASN. Gaji dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Selain gaji, pemerintah daerah dapat memberikan tunjangan kepada
Pegawai ASN di daerah sesuai dengan tingkat kemahalan. Dalam pemberian
tunjangan, Pemerintah Daerah wajib mengukur tingkat kemahalan berdasarkan
indeks harga yang berlaku di daerahnya masing‐masing. Tunjangan
daerah tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
diatur dengan peraturan daerah.
Selain gaji dan tunjangan, Pemerintah memberikan jaminan
sosial kepada Pegawai ASN yang dimaksudkan untuk menyejahterakan Pegawai ASN.
Pegawai ASN yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian,
kecakapan, kejujuran dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugasnya dianugerahkan
tanda kehormatan Satyalencana. Tanda kehormatan diberikan secara selektif hanya
kepada Pegawai ASN yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang‐undangan. Setiap penerima tanda kehormatan berhak atas
penghormatan dan penghargaan dari negara. Penghormatan dan penghargaan dapat
berupa: 1) pengangkatan atau kenaikan jabatan secara istimewa; 2) pemberian
sejumlah uang sekaligus atau berkala; dan/atau 3) hak protokol dalam acara resmi
dan acara kenegaraan.
Hak memakai Satyalancana dicabut apabila Pegawai ASN yang
bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai Pegawai ASN atau tidak lagi memenuhi syarat‐syarat yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang‐undangan. Pencabutan tanda kehormatan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendengar pertimbangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan atas usul Pejabat yang Berwenang.
7. Pemberhentian Pegawai ASN
Pegawai ASN diberhentikan dengan hormat karena: 1)
meninggal dunia; 2) atas permintaan sendiri; 3) mencapai batas usia pensiun; 4)
perampingan organisasi; atau 5) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga
tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
Pegawai ASN diberhentikan dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri karena: 1) melanggar sumpah/janji dan sumpah/janji jabatan,
tidak setia kepada Pancasila, Undang‐Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pegawai ASN diberhentikan tidak dengan hormat karena: 1)
melakukan penyelewengan terhadap Pancasila, Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; atau 3) melakukan pelanggaran disiplin
tingkat berat.
Pegawai ASN diberhentikan sementara karena menjadi
tersangka melakukan tindak pidana kejahatan sampai mendapat putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pensiun
ASN dan pensiun janda/duda diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan
atas pengabdian ASN.
a. Pegawai ASN yang
berhenti dengan hormat berhak menerima pensiun apabila telah mencapai batas
usia pensiun.
b. Pegawai ASN yang
telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
ASN.
c. Usia pensiun
bagi Pegawai (Aparatur) Eksekutif Senior adalah 60 (enam puluh) tahun.
d. Usia pensiun bagi Pegawai Jabatan Administratif
adalah 58 (lima puluh delapan) tahun.
Sumber pembiayaan pensiun berasal dari iuran Pegawai ASN
yang bersangkutan dan pemerintah selaku pemberi kerja dengan perbandingan 1:2
(satu banding dua). Pengelolaan dana pensiun diselenggarakan oleh pihak ketiga
berdasarkan peraturan perundangundangan.
8. Perlindungan
Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap Pegawai ASN dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Perlindungan hukum meliputi perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugasnya dan memperoleh bantuan hukum secara cuma‐cuma terhadap kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan
hukum tetap. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan
terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu
kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
9. Hak Menduduki Jabatan Negara
Pegawai ASN yang mencalonkan diri untuk jabatan politik
mengajukan permohonan berhenti sebagai Pegawai ASN sejak masa pencalonan.
Pegawai ASN yang diangkat pada jabatan negara diberhentikan sementara dari
jabatan yang didudukinya dan tidak kehilangan status sebagai Pegawai ASN.
Pegawai ASN yang tidak menjabat lagi pada jabatan negara diangkat kembali
sebagai Pegawai ASN. Pegawai (Aparatur) Eksekutif Senior yang tidak menjabat
lagi pada jabatan negara diangkat kembali untuk menduduki jabatan administratif
atau jabatan fungsional. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pegawai ASN yang
menduduki jabatan politik dan jabatan negara diatur dengan Peraturan Menteri.
10. Organisasi
Pegawai ASN yang berstatus PNS dapat membentuk Asosiasi
Korps Pegawai Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia yang bersifat non-kedinasan
untuk menyampaikan aspirasinya. Pegawai ASN yang berstatus Pegawai Pemerintah
dapat membentuk Serikat Pegawai Pemerintah untuk menyampaikan aspirasinya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi ASN yang berstatus PNS dan pegawai
Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri.
11. Sistem Informasi ASN dan Penyelesaian Sengketa
Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi
pengambilan keputusan dalam manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi Aparatur
Sipil Negara. Sistem informasi Aparatur Sipil Negara diselenggarakan secara
nasional dan terintegrasi antar berbagai Instansi. Untuk menjamin keterpaduan
dan akurasi data dalam Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara, setiap Instansi
wajib memutakhirkan data secara berkala dan menyampaikannya kepada BKN. Sistem
Informasi Aparatur Sipil Negara sebagaimana berbasiskan teknologi informasi
yang mudah diaplikasikan, mudah diakses dan memiliki sistem keamanan yang
dipercaya. BKN bertanggung jawab atas penyimpanan informasi yang telah
dimutakhirkan oleh Instansi serta bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan
Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara.
Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara memuat sejumlah
informasi dan data Pegawai ASN. Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat: 1) data riwayat hidup; 2) riwayat pendidikan formal
dan non formal; 3) riwayat jabatan dan kepangkatan; 4) riwayat
penghargaan/tanda jasa/tanda kehormatan; 5) riwayat pengalaman berorganisasi;
6) riwayat gaji; 7) riwayat pendidikan dan latihan; 8) daftar penilaian pekerjaan;
dan 9) surat keputusan.
Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya
administratif dan Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya administratif terdiri dari
keberatan dan banding administratif. Keberatan diajukan secara tertulis kepada
atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan dan
tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum. Banding
administratif diajukan kepada Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
B. REFORMASI
APARATUR NEGARA
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005‐2024 menetapkan
pada Tahun 2025 sudah harus berhasil dicapai:
a. penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, bersih, bebas, korupsi, kolusi dan nepotisme;
b. kualitas
pelayanan publik;
c. kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi;
d. profesionalime SDM aparatur negara yang
didukung oleh sistem rekruitmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi,
transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antar daerah dan antar pusat
dan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang
sepadan.
Dengan demikian pada Tahun 2025 diharapkan telah terwujud
tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional,
berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Untuk
mencapai kondisi sebagaimana dirumuskan dalam RPJP Tahun 2005‐2024 perlu dilakukan Reformasi Aparatur Negara sebagai
upaya meningkatkan kekuatan dan kemampuan SDM Aparatur Negara secara sistematis
dan terencana agar terbangun Birokrasi Publik yang mampu menyelenggarakan
pelayanan publik bermutu, mendukung pemerintahan demokratis, dan meningkatkan
daya saing nasional dalam ekonomi pasar sosial terbuka (open social market
economy).
Kekuatan
utama Aparatur Negara terdiri dari anggota Aparatur Sipil Negara Pegawai Negeri
Sipil (PNS), 363.000 anggota Polri, dan 361.823 anggota TNI. Anggota Aparatur
Sipil Negara, yang dalam Rancangan Undang‐Undang ini
dinamakan Pegawai Negara Sipil, terdiri dari 4,7 juta orang dengan komposisi
sebagai berikut:
• 246.000 pegawai
negeri yang menduduki jabatan struktural,
• 2.750.000
pegawai jabatan fungsional, terutama pendidik dan tenaga kependidikan, tenaga
medis dan paramedis, peneliti dan perekayasa, serta jabatan fungsional lainnya.
• 1.700.000 pegawai yang menduduki jabatan tata
usaha atau staf administrasi.
SDM Aparatur Sipil Negara tersebut belum mencakup
mencakup anggota TNI dan anggota Polri. Aparatur Negara tersebut merupakan
kekuatan nasional yang sangat besar yang bila dikembangkan kemampuanya akan
menggerakkan seluruh komponen bangsa guna merealisasikan pemerintahan
demokratis serta menciptakan kesejahteraan bagi segenap bangsa dan seluruh tanah
air.
Untuk
membangun kapasitas SDM Aparatur Negara yang besar tersebut RPJM Tahun 2010‐2014 bidang Aparatur Negara menetapkan tujuan pembangunan
bidang tersebut adalah membangun Aparatur Negara Indonesia profesional dan
bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktek KKN yang mampu:
a. menyelenggarakan
pelayanan publik bermutu bagi masyarakat yang memerlukannya.
b. menyelenggarakan
tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
c. memiliki
kapsitas tinggi untuk mencapai tujuan politik pemerintahan negara, dan
d. melaksanakan reformasi birokrasi.
Untuk mencapai 4 (empat) tujuan tersebut ditetapkan 13 (tiga
belas) sub‐program dan salah satunya adalah Subprogram Pengembangan
profesionalisme, netralitas dan kesejahteraan SDM Aparatur Negara. Sub‐program RPJM Tahun 2010‐2014 tersebut
ruang lingkupnya amat terbatas dan mungkin tidak memiliki dukungan politik dan
finansial yang cukup besar untuk membangun 4,7 juta SDM Aparatur Sipil Negara
yang berstatus PNS agar memiliki profesionalitas dan kapasitas yang diperlukan
untuk mendukung sistem politik demokratis dan ekonomi pasar terbuka. Untuk tugas
yang maha besar tersebut diperlukan Reformasi SDM Aparatur Negara yang komprehensif
serta dukungan politik dan financial yang besar dari Pemerintah.
C. LINGKUNGAN
STRATEGIS
Pembangunan SDM Aparatur Negara yang profesional, netral,
dan sejahtera yang diperlukan guna merealisasikan Visi Pembangunan Nasional
guna menciptakan Masyarakat Indonesia yang Maju, Mandiri, dan Sejahtera. Untuk
mendukung pelaksanaan Visi Tahun 2025 tersebut, kerangka hukum Aparatur Sipil
Negara dilakukan dengan memperhatikan lingkungan strategis yang terjadi sejak
Indonesia melakukan Reformasi dalam segala bidang kehidupan.
1. Amandemen UUD 1945 Ciptakan Sistem Pemerintahan
Negara yang Menerapkan “Checks and Balances”.
Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali antara Tahun 1999
sampai Tahun 2002 telah menciptakan susunan pemerintahan Negara yang meletakkan
kedaulatan berada langsung pada rakyat, dan kekuasaan pemerintahan dipercayakan
kepada para pejabat Negara melalui pemilihan langsung. Agar tidak terjadi
dominasi satu cabang pemerintahan atas cabang lainnya, pembagian kekuasaan
pemerintahan Negara antara dilakukan dengan menerapkan prinsip “checks and
balances.” UUD NKRI 1945 menetapkan Negara Republik Indonesia terdiri dari
5 (lima) cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, kekuasaan
moneter, dan kekuasaan auditif atau pengawasan. Masing‐masing lembaga yang menjalankan kekuasaan tersebut secara
mandiri dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan yang lain.
Setiap
cabang kekuasaan Negara tersebut memiliki 2 (dua) unsur yaitu Pejabat Negara
yang penetapannya dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, yaitu:
a. Pimpinan dan
Anggota MPR, DPR, dan DPD.
b. Presiden dan
Wakil Presiden, para kepala dan wakil kepala daerah.
c. Pimpinan dan
anggota MA, MK, dan KY yang dipilih oleh DPR atas usulan Presiden.
d. Direksi Bank
Indonesia, dan
e. Badan Pengawas Keuangan.
Di samping itu pada jajaran Pejabat Negara terdapat para
pejabat yang diangkat oleh Presiden sebagai pembantu dalam menjalankan tugas
sebagai penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara, antara lain, para Menteri,
Kapolri dan Jaksa Agung, Ketua dan Angota Wantimpres, Duta Besar, Ketua dan
angota lembaga Negara, ketua dan anggota komisi nasional.
Hal diatas merupakan konsekuensi salah satu fenomena yang
sangat penting pasca perubahan Undang‐Undang Dasar 1945
yaitu lahirnya lembaga‐lembaga negara
mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Lembaga‐lembaga tersebut
dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda seperti undang‐undang dan keputusan presiden sebagaimana disampaikan
pada bagian berikut.
Lembaga
Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi
atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:
1) Komisi Yudisial
(KY);
2) Bank Indonesia
(BI) sebagai Bank sentral;
3) Tentara Nasional
Indonesia (TNI);
4) Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI);
5) Komisi Pemilihan
Umum (KPU);
6) Kejaksaan Agung
yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya
dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di
bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama
dengan kepolisian;
7) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional
importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
8) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang
dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional
importance.
Lembaga-Lembaga
Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:
1) Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
2) Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU);
3) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
Lembaga-lembaga
dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga,
Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan,
seperti:
1) Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI);
2) Komisi
Pendidikan Nasional;
3) Dewan Pertahanan
Nasional;
4) Lembaga
Pertahanan Nasional (Lemhannas);
5) Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI);
6) Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT);
7) Badan Pertanahan
Nasional (BPN);
8) Badan
Kepegawaian Negara (BKN);
9) Lembaga
Administrasi Negara (LAN);
10) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
Lembaga-lembaga
dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:
1) Menteri dan
Kementerian Negara;
2) Dewan
Pertimbangan Presiden;
3) Komisi Hukum
Nasional (KHN);
4) Komisi Ombudsman
Nasional (KON);
5) Komisi
Kepolisian;
6) Komisi Kejaksaan.
Lembaga,
Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk
kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
1) Lembaga Kantor
Berita Nasional ANTARA;
2) Kamar Dagang dan
Industri (KADIN);
3) Komite Olahraga
Nasional Indonesia (KONI);
4) BHMN Perguruan
Tinggi;
5) BHMN Rumah
Sakit;
6) Korps Pegawai
Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
7) Ikatan Notaris
Indonesia (INI);
8) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Dasar hukum yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa
lahirnya lembaga-lembaga negara mandiri itu hanya didasarkan pada isu-isu
parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang
dihadapi. Akibatnya komisi-komisi itu berjalan sendiri-sendiri, sehingga
efektivitas keberadaan komisi-komisi itu sebagai lembaga yang ekstralegislatif,
ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif dalam struktur ketatanegaraan senantiasa
rendah.
Kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan
indikasi bahwa: 1) tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik,
mengakar, dan sulit untuk diberantas; 2) tidak independennya lembaga-lembaga
negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan
tertentu; 3) ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk
melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi
baik karena persoalan internal maupun eksternal; 4) adanya pengaruh global yang
menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga
negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau
lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu
kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi
bagian dari sistem yang harus diperbaiki; 5) adanya tekanan dari lembaga-lembaga
internasional untuk membentuk lembaga-embaga tersebut sebagai prasyarat bagi
era baru menuju demokratisasi (Patrialis akbar dalam http://www.djpp.depkumham.go.id/19/08/2010).
Agar tidak terganggu oleh instabilitas pemerintahan yang
sering dihadapi oleh Sistem Pemerintahan Koalisi, setiap pemegang kekuasaan
Negara dalam sistem kenegaraan Indonesia yang menerapkan “separation of
power” yang lebih tegas perlu didukung oleh Aparatur Sipil Negara yang
independen dalam bentuk suatu profesi yang memiliki nilai dasar, etika profesi,
serta standar kompetensi dan kualifikasi yang ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999, Pegawai Negeri Sipil dipandang sebagai individu yang
bekerja pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebaliknya pada
RUU Aparatur Sipil Negara, Pegawai Sipil Negara dan Pegawai Pemerintah adalah
Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah sebagai anggota Profesi Aparatur
Sipil Negara yang harus melaksanakan nilai-nilai dasar, etika profesi, dan memenuhi
standar kualifikasi dan kompetensi, dalam menjalankan pelayanan publik, tugas pemerintahan
dan pembangunan pada instansi pemerintah.
2. Desentralisasi Pemerintahan Ciptakan Sistem
Jaringan Pemerintahan
Amandemen UUD NKRI 1945 dan peraturan pelaksanaannya
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 telah membuka pintu lebar bagi perluasan daerah baru.
Karena lebih menonjolkan pertimbangan politik yaitu hak masyarakat daerah untuk
membentuk daerah, maka sejak awal Reformasi, telah terjadi proliferasi
pembentukan daerah baru yang pada saat ini telah mencapai 33 (tiga puluh tiga) provinsi
dan 524 (lima ratus dua puluh empat) kabupaten dan kota. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menetapkan daerah provinsi, kabupaten dan kota sebagai daerah otonom
yang diberi kewenangan untuk mengelola urusan rumah
tangga masing-masing, sehingga setelah
amandemen UUD NKRI 1945 Indonesia berkembang menjadi suatu jaringan
pemerintahan yang sangat besar yang terdiri dari 35 (tiga puluh lima) kementerian
dan non-kementerian, 28 (dua puluh delapan) lembaga Negara dan lembaga
pemerintah non-kementerian, lebih kurang 60 (enam puluh) lembaga non-struktural,
33 (tiga puluh) provinsi, dan 497 (empat ratus sembilan puluh tujuh) kabupaten
dan kota. Untuk mendukung jaringan pemerintahan yang amat desentralistis tersebut
diperlukan Aparatur Sipil Negara yang memiliki kapasitas kelembagaan yang
tinggi, bebas dari intervensi politik, dan bersih dari praktek KKN, agar
mendapat kepercayaan dari rakyat.
Pemekaran daerah yang sangat cepat tersebut
sangat berpengaruh terhadap efektivitas tata pemerintahan daerah. Indeks
Efektivitas Tata Pemerintahan yang dikeluarkan oleh Kemitraan setiap 4-5 tahun
adalah yang mencakup 33 (tiga puluh tiga) provinsi merupakan salah satu indikator
obyektif untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas
yang diembangkan oleh peraturan perundangan. Indeks Efektivitas Tata
Pemerintahan (IETK) diukur dalam skala ukuran yang rentangnya dari 1 sampai
dengan 10. Tabel di bawah menunjukkan peringkat 33 provinsi berdasarkan rerata
skor IETK pada Tahun 2008. Secara umum efektivitas tata pemerintahan provinsi-provinsi
Indonesia tertinggal jauh dari Negara tetangga. Di antara provinsi-provinsi
Indonesia pun terdapat variasi yang amat besar antara provinsi yang memiliki
efektivitas tinggi dan provinsi yang memiliki tingkat efektivitas rendah.
Karena efektivitas tata pemerintahan sangat
dipengarui oleh kualitas pegawai Aparatur Sipil Negara, variasi skor IETP
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar dalam kualitas pegawai Aparatur
Sipil Negara antar provinsi di Indonesia.
3. Kualitas Layanan Publik Masih Rendah
Meskipun kemajuan telah banyak dicapai dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, disadari bahwa pemerintah belum
dapat menyediakan kualitas pelayanan publik sesuai dengan tantangan yang
dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan
persaingan global yang semakin ketat. Hasil survei integritas yang dilakukan
KPK menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6.84
dari skala 10 untuk instansi pusat, dan 6.69 untuk unit pelayanan publik di
daerah. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan
publik, seperti: ada tidaknya suap, ada tidaknya SOP, kesesuaian proses
pemberian pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan
kecepatan dalam pemberian pelayanan serta kemudahan pengaduan masyarakat. Di
samping itu, nilai Indeks Kemudahan Berusaha di Indonesia juga menunjukkan
bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor
yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia.
Doing Business Report,
yang diterbitkan IFC menyediakan penilaian yang objektif terhadap regulasi
berusaha dari negara-negara yang disurveinya. Selain itu, Doing Business
Report juga menjadi pedoman untuk mengevaluasi regulasi-regulasi yang
secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi, membuat perbandingan antar
negara, dan mengidentifikasi reformasi yang telah dilakukan. Secara berurutan
peringkat Indeks Kemudahan Berusaha Indonesia adalah terendah di antara negara-negara
ASEAN sebagai berikut:
Tabel 2. Peringkat
Kemudahan Berusaha Asia Tenggara
Country 2010 2011
Country
|
2010
|
2011
|
Singapura
|
1
|
1
|
Muangthai
|
18
|
19
|
Malaysia
|
23
|
21
|
Vietnam
|
88
|
78
|
Brunei
|
117
|
112
|
Indonesia
|
115
|
121
|
Sumber: www.doingbusiness.org,
2011. N=183
Sebagai akibat masih lemahnya kapasitas
manajemen pelayanan publik, berbagai pengurusan jenis perizinan yang seharusnya
menjadi daya saing dalam menarik investasi menjadi sering terhambat. Ini
terbukti dari lamanya rata-rata waktu perijinan yang dilakukan. Sebagai
catatan, pada Tahun 2005 jumlah prosedur yang harus ditempuh untuk mengurus
usaha baru adalah sebanyak 12 (dua belas) prosedur, dengan memakan waktu 151 (seratus
lima puluh satu) hari, serta membutuhkan biaya melebihi rata-rata pendapatan
per kapita penduduk Indonesia (1,3 kali lebih tinggi dari pendapatan per
kapita). Lama waktu pengurusan membaik menjadi 97 (sembilan puluh tujuh) hari pada
Tahun 2007, namun memburuk lagi menjadi 105 (seratus lima) hari pada Tahun 2008.
Pada Tahun 2009, jumlah prosedur yang ditempuh menjadi 11 (sebelas) dengan lama
pengurusan 76 (tujuh puluh enam) hari. Walaupun terjadi peningkatan, namun
peringkat Indonesia turun dari posisi semula 127 (seratus dua puluh tujuh) menjadi
129 (seratus dua puluh sembilan) dari 181 (seratus delapan puluh satu) negara
yang disurvei. Peringkat ini masih di atas peringkat Filipina (140), namun masih
berada jauh di bawah Malaysia (20), Brunei (88) dan Vietnam (92).
Sebagai ilustrasi lemahnya kinerja aparatur
negara di bidang pelayanan terhadap dunia usaha ini, apabila dibandingkan
dengan negara tetangga seperti Thailand dan dengan rata-rata untuk negara di
kawasan Asia Tenggara, ternyata Indonesia masih tertinggal. Indonesia mempunyai
rantai birokrasi yang lebih panjang, waktu yang lebih lama, dan biaya yang
lebih mahal untuk pengurusan ijin bisnis baru, lisensi, pembayaran pajak, dan
penegakan kontrak dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Beberapa parameter
yang digambarkan di atas memperlihatkan posisi Indonesia yang belum
menggembirakan dibandingkan negara tetangga. Hal ini tentunya sangat
berpengaruh terhadap daya saing Indonesia di dunia internasional.
Masih rendahnya kualitas pelayanan publik
tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Meskipun mentalitas birokrat telah
berubah dari mentalitas penguasa menjadi mentalitas pelayan masyarakat,
perubahan itu diyakini belum cukup meluas di kalangan birokrasi. Sebagian besar
birokrat kita masih belum menempatkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan
yang harus dipenuhi hak-haknya. Selanjutnya, manajemen pelayanan publik masih
perlu pembenahan. Sebagian besar unit pelayanan publik belum menerapkan standar
pelayanan minimal, yang secara jelas dan transparan memberitahukan hak dan
kewajiban masyarakat sebagai penerima layanan publik. Di samping itu, sistem
manajemen pelayanan publik belum banyak memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk memberikan pelayanan publik yang cepat, murah,
transparan, dan akuntabel. Sistem evaluasi kinerja pelayanan publik juga masih
lemah dalam mendorong kinerja pelayanan. Hal ini diperburuk dengan belum
tersedianya manajemen penanganan keluhan yang efektif. Sebuah studi menunjukkan
bahwa selama ini masyarakat lebih mengandalkan media surat kabar (koran)
sebagai media yang dinilai masih paling efektif untuk bisa menyampaikan berbagai
keluhan, yaitu sebesar (53.8%). Posisi ini diikuti oleh radio (33.91 %) dan
pesan singkat (SMS) sebesar 30.65%.
4. Ledakan Pensiun
Salah satu masalah mendasar yang akan dihadapi
Indonesia dalam reformasi Aparatur sipil Negara pada kurung waktu Tahun 2010-2024
adalah ancaman ledakan pensiun PNS yang diprediksi akan terjadi pada Tahun 2015.
Laporan Misi Bank Dunia pada Tahun 2009 (World Bank, 2009) tentang Reformasi
Aparatur Sipil Negara memperhitungkan antara Tahun 2010 sampai Tahun 2014
jumlah PNS yang akan memasuki usia pensiun akan mencapai 2,5 juta orang.
Pensiunan PNS pada saat ini berjumlah 2,43 juta orang. Dengan demikian pada Tahun
2015 jumlah PNS akan mencapai 4,9 juta orang atau lebih besar dari jumlah total
PNS pada 2010 yang sekarang berjumlah 4,7 orang.
Beban fiskal untuk pembayaran manfaat pensiun
akan sangat berat apabila seluruhnya dibebankan kepada APBN. Menurut Dirut PT. Taspen
pada presentasi di Ciloto pada tanggal 4 Desember 2010 dihadapan Komisi II DPR
RI, manfaat pensiun yang dibayarkan pada Tahun 2010 berjumlah Rp39 triliun yang
seluruhnya dibebankan kepada APBN. Tanpa reformasi pensiun pada Tahun 2015
beban fiskal manfaat pensiun yang mencapai Rp85 sampai 90 triliun, atau hampir
mencapai seperdua dana belanja pegawai yang tersedia.
Untuk meringankan beban fiskal Pemerintah
untuk pembayaran manfaat pensiun PNS, RUU ini mengusulkan agar diadakan
reformasi dari sistem pensiun dari sistem “pay as you go” yang dibebankan pada
APBN menjadi sistem “fully funded” melalui pembayaran premi pensiun oleh
pegawai negara sebesar 4,75% dari gaji setelah dikonsolidasi antara gaji pokok
dan berbagai tunjangan, dan iuran oleh Pemerintah dan pemerintah daerah,
sebagai majikan sebesar 1 ½ sampai 2 kali iuran pegawai. Akumulai “tabungan”
pegawai negara dan Pemerintah sebagai pemberi kerja selama masa kerja 35-40
tahun diharapkan akan menghasilkan akumulasi dana pensiun yang cukup besar
untuk menjamin kehidupan yang layak bagi pensiunan PNS.
Menurut data BKN per Mei 2010, jumlah PNS
aktif adalah 4.732.472 (empat juta tujuh ratus tiga puluh dua ribu empat ratus
tujuh puluh dua) orang. Distribusi PNS berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin selengkapnya dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 3.
Distribusi Jumlah PNS menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin
Umur Pria Persen Wanita Persen Jumlah
Umur
|
Pria
|
Persen
|
Wanita
|
Persen
|
Jumlah
|
18-20
|
1.035
|
0,04
|
600
|
0,03
|
1.635
|
21-25
|
51.614
|
2,02
|
80.882
|
3,72
|
132.496
|
26-30
|
199.602
|
7,80
|
258.319
|
11,89
|
457.921
|
31-35
|
260.026
|
10,16
|
285.230
|
13,13
|
545.256
|
36-40
|
306.035
|
11,95
|
295.894
|
13,62
|
601.929
|
41-45
|
460.479
|
17,99
|
406.121
|
18,69
|
866.600
|
46-50
|
544.990
|
21,29
|
417.264
|
19,21
|
962.254
|
51-55
|
471.142
|
18,40
|
268.278
|
12,35
|
739.420
|
56-60
|
237.485
|
9,28
|
139.334
|
6,41
|
376.819
|
61-65
|
26.900
|
1,05
|
20.232
|
0,93
|
47.132
|
65+
|
775
|
0,03
|
235
|
0,01
|
1.010
|
Jumlah
|
2.560.083
|
100
|
2.172.389
|
100
|
4.732.472
|
Sumber: BKN, Mei 2010.
Dari tabel 3. distribusi jumlah PNS di atas,
selain jumlah PNS diketahui pula bahwa PNS yang akan memasuki usia pensiun
dalam kurun 5 (lima) tahun yang akan datang (s.d. Tahun 2015) adalah sebesar 739.420
orang atau 30,75%. Hal tersebut didasarkan pada jumlah PNS pada kelompok usia
51-55 tahun dengan asumsi BUP normatif yaitu 56 tahun. Jika jumlah PNS pada
kelompok usia 56-60 tahun (376.819 orang) dan 61-65 tahun (47.132 orang) diasumsikan
akan pensiun pada BUP 60 dan 65 tahun maka untuk 5 (lima) tahun yang akan datang
terjadi penambahan jumlah PNS yang akan pensiun sebesar 423.951 orang atau 17,67
persen. Dengan demikian dalam kurun 5 (lima) tahun yang akan datang akan ada 1.163.371
PNS yang pensiun atau hampir separuh (48,42 persen) dari jumlah PNS yang ada pada
saat ini.
Disisi lain pertumbuhan jumlah PNS sejak Tahun
2004 s.d. 2009 cenderung fluktuatif dengan perbedaan pertumbuhan yang mencolok.
Pada Tahun 2004 pertumbuhan jumlah PNS adalah -1,66 persen artinya terjadi
penurunan jumlah PNS dari 3.648.005 orang pada tahun 2003 menjadi 3.587.337
orang pada Tahun 2004. Pada tahun 2004 dan sebelumnya pemerintah memberlakukan
kebijakan zero growth penerimaan/ pengangkatan PNS pada semua instansi pemerintah
sehingga tidak terjadi penambahan jumlah PNS. Namun mulai Tahun 2005 s.d 2009
telah terjadi pertumbuhan yang luar biasa dari 3.662.336 orang pada Tahun 2005 menjadi
sebesar 4.524.205 orang pada tahun 2009 atau terjadi peningkatan sebesar
861.869 orang atau 23,53%.
Peningkatan jumlah tersebut antara lain
disebabkan karena adanya kebijakan politik pemerintah untuk mengangkat sekitar
900-an ribu pegawai honorer menjadi calon PNS sejak Tahun 2005 s.d. 2009.
Pertumbuhan jumlah PNS per tahun selengkapnya dapat dilihat pada tabel.4
dibawah ini.
Tabel 4.
Pertumbuhan Jumlah PNS
Tahun
|
Pria
|
Pertum
Buhan
(%)
|
Wanita
|
Pertum
buhan (%)
|
Total
|
Pertum
Buhan
(%)
|
2003
|
2.172.285
|
1.475.720
|
3.648.005
|
|||
2004
|
2.130.299
|
-1,93
|
1.457.038
|
-1,27
|
3.587.337
|
-1,66
|
2005
|
2.131.674
|
0,06
|
1.530.662
|
5,05
|
3.662.336
|
2,09
|
2006
|
2.144.320
|
0,59
|
1.580.911
|
3,28
|
3.725.231
|
1,72
|
2007
|
2.292.555
|
6,91
|
1.774.646
|
12,25
|
4.067.201
|
9,18
|
2008
|
2.257.408
|
-1,53
|
1.825.952
|
2,89
|
4.083.360
|
0,40
|
2009
|
2.455.269
|
8,76
|
2.068.936
|
13,31
|
4.524.205
|
10,8
|
Sumber: BKN, Mei 2010.
Selanjutnya pertumbuhan jumlah menurut jenis
kelamin tahun 2003 s.d. 2009 secara grafis dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Pertumbuhan
Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin
Menurut PT Taspen (Persero) jumlah pensiunan
PNS pada bulan Juli 2010 adalah 2.319.050 (dua juta tiga ratus sembilan belas
ribu lima puluh) orang. Pada pembayaran pensiunan ke-13 (Juli 2010) jumlah dana
yang disediakan untuk pembayaran pensiun bulan ketiga belas tersebut sebesar Rp
3,12 triliun (http://images.kompas.com/2010).
Dengan data hitungan dari PT Taspen (Persero)
tersebut berarti rata-rata pensiunan menerima (Rp3,12 T/2.319.050 =) Rp
1.345.379 perbulan. Hal itu berarti dalam satu tahun Negara melalui PT
Taspen (Persero) mengeluarkan uang sekitar (Rp3,12 T x 12 =) Rp37,44 Triliun
untuk membayar para pensiunan PNS. Jumlah tersebut belum ditambah dengan
pensiunan TNI/Polri, pejabat Negara, dan penerima pensiun lainnya yang
ditentukan oleh Negara.
Jika pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa
untuk 5 (lima) tahun yang akan datang akan ada 1.163.371 PNS yang pensiun maka
total pensiunan PNS pada 5 (lima) tahun yang akan datang adalah 2.319.050
+1.163.371= 3.482.421 orang. Dengan demikian prediksi akan adanya
‘ledakan’ pensiunan PNS dan TNI/POLRI (jumlah pensiunan saat ini ditambah
dengan yang akan pensiun lima tahun yang akan datang) pada Tahun 2015 sebesar
kurang lebih 4,7 juta orang adalah hal yang masuk akal.
Jika terdapat pensiunan PNS sebanyak 4,7 juta
pada Tahun 2015 maka dengan asumsi rata-rata pembayaran pensiun menurut PT
Taspen (Persero) ditambah kenaikan per tahun menjadi sekitar Rp 1.500.000/
pensiunan/perbulan maka akan diperlukan anggaran Negara sebesar Rp 7,05 Triliun/bulan
atau Rp 84,6 Triliun/tahun. Jumlah tersebut akan dapat lebih besar
lagi apabila asumsi yang digunakan ternyata lebih kecil dari yang sesungguhnya
dibayarkan pada Tahun 2015.
Anggaran pensiun PNS oleh pemerintah
dimasukkan dalam belanja pegawai APBN, sebagaimana dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5.
Kebijakan Belanja Pegawai 2005-2010
NO
|
URAIAN
|
TAHUN
|
|||||
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
||
1
|
Belanja Pegawai (dlm Miliar)
|
54,254.0
|
73,252.0
|
90,425
|
112,830
|
133,709
|
162,410
|
Kenaikan
|
35%
|
23%
|
25%
|
19%
|
21%
|
||
% thd Belanja
Pemerintah Pusat
|
15%
|
17%
|
18%
|
16%
|
19%
|
21%
|
|
2
|
Kebijakan pemberian gaji ke‐13
|
||||||
Besaran
|
1 x gaji
Juli
|
1 x gaji
Jul
|
1 x gaji
Juni
|
1 x gaji
Juni
|
1 x gaji
Juni
|
1 x gaji
Juni
|
|
3
|
Kenaikan Gaji Pokok dan Pensiun Pokok
|
||||||
Persentase
|
‐
|
15%
|
15%
|
20%
|
15%
|
5%
|
|
4
|
Kenaikan Rata‐rata Tunjangan Struktural
|
||||||
Eselon I
|
‐
|
‐
|
23,6%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
Eselon II
|
‐
|
‐
|
32,5%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
Eselon III
|
‐
|
50%
|
42,5%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
Eselon IV
|
‐
|
50%
|
52,5%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
Eselon V
|
‐
|
50%
|
60,0%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
5
|
Kenaikan Rata‐rata Tunjangan Fungsional
|
||||||
Persentase
|
‐
|
10%
|
20%
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
6
|
Pemberian Tunjangan
Umum (Rp) bagi non pejabat, sehingga penghasilan terendah minimal Rp1 juta
|
||||||
PNS Golongan I
|
‐
|
175.000
|
-
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
PNS Golongan II
|
‐
|
180.000
|
-
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
PNS Golongan III
|
‐
|
185.000
|
-
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
PNS Golongan IV
|
‐
|
190.000
|
-
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
TNI/Polri
|
‐
|
75.000
|
-
|
‐
|
‐
|
‐
|
|
7
|
Kenaikan uang makan dan lauk pauk ULP
TNI/Polri
|
||||||
Nominal
|
17.500
|
25.000
|
30.000
|
35.000
|
35.000
|
40,000
|
|
Persentase
|
16,7%
|
42,9%
|
20,0%
|
16,7%
|
‐
|
14.30%
|
|
Uang Makan PNS
|
|||||||
Nominal
|
‐
|
‐
|
10.000
|
15.000
|
15.000
|
20,000
|
|
Persentase
|
‐
|
‐
|
‐
|
50,0%
|
‐
|
33%
|
|
8
|
Sharing pembayaran pensiun (%)
|
||||||
Beban APBN
|
79,0%
|
82,5%
|
85,5%
|
91,0%
|
100,0%
|
100,0%
|
|
Beban Taspen
|
21,0%
|
17,5%
|
14,5%
|
9,0%
|
0,0%
|
0,0%
|
Dari tabel 5. diketahui bahwa belanja pegawai
dalam APBN Tahun 2010 adalah sebesar Rp162, 41 Triliun. Jumlah tersebut lebih
besar dibanding Tahun 2009 sebesar Rp133,709 Triliun, dan Tahun 2008 sebesar Rp112,83
Triliun. Jika dilihat persentase kenaikannya, dari Tahun 2008 ke 2009 sebesar
19% dan tahun 2009 ke 2010 sebesar 21%. Persentase kenaikan belanja pegawai
dalam APBN tersebut relatif kecil dibanding Tahun 2005 ke 2006 sebesar 35%,
Tahun 2006 ke 2007 sebesar 23%, dan Tahun 2007 ke 2008 sebesar 25%.
Secara umum pemerintah dalam kurun waktu Tahun
2005-2010 mengeluarkan kebijakan kenaikan belanja pegawai yang cukup
signifikan. Kebijakan perbaikan penghasilan dan kesejahteraan aparatur
pemerintah dalam kurun waktu tersebut berdampak pada peningkatan take home
pay aparatur, yaitu bagi PNS dengan pangkat terendah (golongan I/a tidak
kawin) meningkat dari sekitar Rp 674.000 dalam Tahun 2005 menjadi sekitar Rp
1,892 juta per bulan dalam Tahun 2010.
Kebijakan perbaikan penghasilan dan
kesejahteraan aparatur pemerintah tersebut meliputi: 1) Kenaikan gaji pokok
bagi PNS dan TNI/Polri secara berkala; 2) Pemberian gaji bulan ke-13; 3)
Kenaikan tunjangan fungsional bagi pegawai yang memegang jabatan fungsional dan
kenaikan tunjangan struktural bagi para pejabat struktural; 4) Kenaikan uang
lauk pauk bagi anggota TNI/Polri; 5) Pemberian uang makan kepada PNS mulai
tahun 2007; 6) Kenaikan tarif uang lembur dan uang makan lembur; 7) Penyesuaian
pokok pensiun dan pemberian pensiun ke-13; 8) Perbaikan sharing beban APBN
untuk pembayaran pensiun menjadi 100 persen beban APBN, dan 9) Perluasan
cakupan pelayanan kesehatan dengan pemberian subsidi/bantuan bagi penderita
penyakit katastrof.
Dalam hal kenaikan gaji pokok dan pensiun
pokok, persentase kenaikannya adalah Tahun 2006 sebesar (15%), Tahun 2007
(15%), Tahun 2008 (20%), Tahun 2009 (15%), dan Tahun 2010 sebesar (5%). Adapun
beban APBN dan Taspen untuk pembayaran pensiun dalam kurun 5 (lima) tahun
terakhir semakin besar dibebankan pada APBN bahkan untuk Tahun 2009 dan 2010 sudah
100% pembayaran pensiun sudah ditanggung oleh Negara.
Grafik belanja pegawai pada APBN dari tahun
ke tahun jumlahnya terus meningkat, realisasi Tahun 2005 sebesar Rp54.254.200.000,
Tahun 2006 Rp73.252.300.000 atau meningkat 35% dari belanja pegawai sebelumnya.
Tahun 2007, meningkat 23% atau menjadi Rp90.425.000.000, lalu di APBN realisasi
Tahun 2008 pun meningkat menjadi Rp112.829.900.000 atau 25% dari tahun sebelumnya.
Di Tahun 2009 perubahan, Pemerintah menaikkan kembali alokasi belanja
pegawainya menjadi Rp133.709.200.000 atau 19% dari tahun sebelumnya. Dalam
penetapan APBN Tahun 2010, kenaikan semakin signifikan, tercatat di Tahun 2010
alokasi belanja pegawai pemerintah meningkat 20% atau Rp160.364.300.000. Jika
dirata-ratakan kenaikan belanja pegawai pertahunnya sebesar 24,4%.
Kenaikan belanja pegawai pemerintah
berbanding lurus dengan belanja barang dari tahun ke tahun. Tercatat dalam
realisasi tahun 2005 ke 2006 mengalami kenaikan yang cukup tinggi, mencapai 62%
atau meningkat sebesar Rp18.010.200.000. Begitu pula di tahun berikutnya,
realisasi belanja barang di tahun 2007 meningkat 16% atau Rp7.329.500.000.
Selanjutnya, di tahun 2008 mengalami peningkatan hanya 3% atau sebesar Rp1.452.100.000.
Kenaikan drastis terjadi dalam APBN Perubahan 2009, alokasi belanja barang
meningkat 53% atau sebesar Rp 29.500.500.000,- dari tahun sebelumnya. Pada
penetapan APBN TA 2010, pemerintah menganggarkan untuk belanja barang sebesar
Rp107.090.100.000,- atau meningkat 17% dari tahun sebelumnya (mengalami
kenaikan sebesar Rp21.626.100.000,-). Sedangkan kenaikan rata-ratanya sebesar
30,2 % per tahun.
Dari tahun 2005 ke 2006, baik dari belanja
pegawai maupun belanja barang mengalami kenaikan cukup tinggi, begitu pula
belanja modalnya. Untuk belanja pegawai meningkat 35% belanja barang meningkat
62%, sedangkan untuk belanja modal meningkat 67% atau mengalami kenaikan
sebesar Rp22.063.100.000, dari realisasi tahun sebelumnya sebesar
Rp32.888.800.000 (menjadi Rp54.951.900.000). Di tahun 2007 mengalami kenaikan
17% atau meningkat Rp9.336.800.000 (menjadi Rp64.288.700.000,-). Tahun 2008
meningkat 13% atau Rp8.483.800.000 (menjadi Rp72.772.500.000). Namun dalam APBN
Perubahan TA 2009 meningkat hanya 1% atau sebesar Rp609.000.000 (menjadi Rp73.381.500.000).
Sedangkan pada tahun 2010 kembali meningkat sebesar 12% atau Rp 8.794.000.000,
menjadi Rp 82.175.500.000.
Disisi lain, peningkatan dari ketiga belanja
di atas tidak diiring dengan meningkatnya belanja subsidi, yang notabenenya
belanja subsidi akan berdampak pada kehidupan dari masyarakat miskin. Kenaikan
gaji pegawai seharusnya meningkatkan kinerja pemerintah untuk terus mengupayakan
APBN yang pro terhadap masyarakat miskin sesuai dengan amanat konstitusi. Trend
belanja subsidi dari tahun 2005‐2010 mengalami penurunan. Penurunan sudah
terlihat diawal tahun 2006. Dalam realisasi tahun 2005 tercatat sebesar
Rp120.765.300.000, kemudian pada tahun 2006 menjadi Rp107.431.800.000 mengalami
penurunan sebesar 11% atau berkurang sebesar Rp13.333.500.000 dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2007 meningkat sebesar 40% atau Rp42.782.600.000 dari tahun
sebelumnya menjadi Rp150.214.400.000. Di tahun 2008 meningkat kembali sebesar
83% atau Rp125.077.100.000 menjadi Rp275.291.500.000. Semangat subsidi untuk masyarakat
terasa di tahun 2008 ini, namun di tahun selanjutnya alokasi belanja subsidi
ini terjun bebas atau turus drastis, dalam APBN Perubahan 2009 tercatat alokasi
belanja subsidi pemerintah hanya Rp158.117.900.000 yaitu terjadi penurunan sebesar
43% dari tahun sebelumnya atau Rp117.173.600.000. Rasa pesimistis berlanjut di
tahun 2010, pemerintah mengurangi kembali alokasi belanja subsidi menjadi
Rp157.820.300.000,- mengalami penurunan sebesar Rp297.600.000. Kenaikan belanja
pegawai mengorbankan komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, hal itu
terlihat dari penurunan belanja subsidi 43% di tahun 2009 (http://www.seknasfitra.org/1/4/2010).
Menurut Sekjen Kementrian Keuangan Mulya P
Nasution, hingga saat ini pemerintah belum bisa memisahkan dana pensiunan dari
APBN dan dana pensiunan masih mengandalkan APBN. Jika akan dipisahkan, maka
pengaturan dana pensiunan harus menunggu selesainya Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Apabila tidak dipisahkan, dikhawatirkan pemerintah
dibebani dengan kewajiban dalam APBN yang pada suatu hari nanti APBN itu tidak
fleksibel. Beban dana pensiunan yang terlalu tinggi di APBN membuat Indonesia mengalami
krisis seperti halnya negara maju karena jumlah yang pensiun semakin banyak.
Pada 2009, pemerintah menggelontorkan 100%
dana pensiun dari APBN. Sebelumnya hingga 2008, pemerintah menetapkan sharing
pembayaran pensiun antara APBN dan PT Taspen sebesar 91% banding 9%. Dalam Nota
Keuangan dan RAPBN 2009, perubahan kebijakan sharing itu meningkatkan
pengeluaran pemerintah dari Rp37,2 Triliun menjadi Rp40,8 Triliun atau
meningkat sekitar 9,7%. Sementara itu, pemerintah juga akan menaikan Tunjangan
Hari Tua (THT) seriring rencana kenaikan gaji pokok PNS 15% pada 2010. Apabila
yang berubah gaji pokok, nanti sharing pemerintah akan berpengaruh dan begitu
juga yang dipotong dari pensiun. Kenaikan gaji pokok sebesar 15% pada tahun 2010
menambah alokasi anggaran gaji pokok pegawai. PT Taspen mencatat adanya kekurangan
pendanaan sebesar Rp1,97 triliun akibat perubahan formula perhitungan manfaat
THT tahun 2004. Untuk kewajiban ini, pemerintah mulai tahun 2005 mencicil Rp250,2
Miliar per tahun. Sedangkan 2008 pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp500,2
Miliar. Besarnya cicilan pembayaran kekurangan pendanaan akan disesuaikan
kemampuan keuangan negara (Harian Ekonomi Neraca, 14 Feb 2011).
Dalam pembayaran pensiun secara ”pay as
you go” sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 4 di atas, mulai tahun 2009 dan
2010 beban pembayaran pensiun 100% ditanggung oleh Negara dan menjadi beban
APBN. Beban APBN menunjukkan trend terus meningkat, Rp40,8 triliun pada 2009,
menjadi Rp46,5 triliun pada 2010, dan Rp52,7 triliun pada 2011, suatu kenaikan
rata 10.5% per tahun. Apabila prediksi Bank Dunia bahwa terjadi ”ledakan
pensiun” sebesar 2,5 juta PNS pada kurun waktu 2010-2015, pembayaran manfaat pensiun
akan melonjak 2 (dua) kali lipat pada 2015 menjadi Rp105,4 Triliun. Apabila
prediksi tersebut terjadi maka tsunami pensiun akan melanda Indonesia dan
meluluh lantakkan APBN Indonesia karena hampir seluruh alokasi belanja pegawai
akan terpakai untuk pembayaran manfaat pensiun.
Bedanya dengan sistem yang lama (pay as
you go) meski anggaran dari APBN lebih kecil namun menimbulkan resiko
fiskal. Sumber resiko tersebut antara lain berasal dari sharing pembayaran
pensiun antara APBN dan PT Taspen. Resiko lainnya berasal dari kebijakan kenaikan
gaji pokok PNS yang akan menyebabkan adanya kekurangan pendanaan alias unfunded
liability. Contohnya, kenaikan gaji pokok PNS tahun 2001, 2003 dan 2007 menyebabkan
adanya kekurangan pendanaan dalam program tunjangan hari tua bagi PNS sebesar
Rp1,967 triliun. Terakhir, kenaikan gaji PNS tahun 2008 sebesar 20% menyebabkan
adanya kekurangan pendanaan sebesar Rp2,5 Triliun (http://keuangan.kontan.co.id/19/8/2008).
5. Transformasi Aparatur Sipil Negara
Pegawai Aparatur Sipil Negara adalah Pegawai
Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap Pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang secara kompetitif berdasarkan asas merit, dan diserahi tugas untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan tugas pembangunan negara,
profesional, memiliki nilai-nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta digaji
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 dan peraturan pelaksanaannya menerapkan sistem manajemen pegawai sipil
berbasis karir yang mengutamakan senioritas. Pada sistem berbasis karir
tersebut pegawai negeri masuk melalui satu pintu dan yang sudah ditinggalkan oleh
banyak negara. Intervensi politik dan premordialisme kedaerahan sempit yang
semakin menggejala, serta sistem jaminan sosial yang belum menjamin kehidupan
layak serta mampu mencegah praktek KKN. Praktek-praktek tersebut hanya mungkin
diatasi dan dapat dihambat bila sistem manajemen SDM berbasis jabatan (position
based personnel manajemen system) diterapkan pada semua instansi
pusat dan daerah.
Dalam sistem berbasis jabatan, penerimaan pegawai tidak
dilakukan berdasarkan formasi yang ditetapkan setiap tahun atas dasar prakiraan
jumlah pegawai yang pensiun, meninggal atau keluar sebagai PNS, tetapi atas
dasar jabatan yang lowong. Pengisian untuk setiap jabatan tersebut dilakukan
dengan menerapkan prinsip merit (keahlian), melalui proses rekruitmen secara
kompetitif atau terbuka yang dilakukan secara obyektif untuk mendapatkan calon
yang memiliki kompetensi yang paling paling sesuai dengan kompetensi jabatan.
Untuk mengatasi silo syndrome yang terjadi setelah
desentralisasi kepegawaian ternyata telah menghambat mobilitas pegawai negeri
dan dalam rangka menjaga melaksanakan fungsi PNS sebagai perekat NKRI, perlu
dibentuk Jabatan Eksekutif Senior (jabatan eselon 1, 2, dan 3) yang harus
ditempatkan di seluruh tanah air.
Aparatur Eksekutif Senior adalah profesi bagi pegawai
Aparatur Sipil Negara yang menduduki jabatan eksekutif sebagai pejabat karir
tertinggi, staf ahli, analis utama atau jabatan yang setara pada instansi dan
perwakilan melalui seleksi secara nasional dan diangkat oleh Presiden atas usul
KASN. Pegawai (Aparatur) Eksekutif Senior adalah pegawai Aparatur Sipil Negara
yang menduduki jabatan eksekutif sebagai pejabat karir tertinggi, staf ahli,
analis utama atau jabatan yang setara pada instansi dan perwakilan melalui
seleksi secara nasional dan diangkat oleh Presiden atas usul KASN.
Pegawai (Aparatur) Eksekutif Senior berfungsi memimpin
dan mendorong setiap pegawai Aparatur Sipil Negara pada Instansi dan Perwakilan
melalui: 1) kepeloporan dalam bidang: a) keahlian professional, b) analisis dan
rekomendasi kebijakan, dan c) kepemimpinan manajemen; 2) mengembangkan
kerjasama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai
dasar ASN dan dalam melaksanakan kode etik ASN.
Pegawai (Aparatur) Eksekutif Senior yang menduduki
jabatan eksekutif tertinggi pada Instansi dan Perwakilan berfungsi sebagai
Pejabat yang Berwenang dalam bidang kepegawaian ASN pada Instansi dan
Perwakilan. Klasifikasi jabatan eksekutif ditetapkan oleh KASN.
Di samping itu, untuk menjaga agar struktur PNS lebih
fleksibel dan selalu sesuai dengan dinamika perkembangan di masyarakat,
khususnya dunia, perlu diadakan jenis PNS baru yaitu Pegawai Negeri Tidak Tetap
(contract government employees) yang menerapkan standard dan norma
penggajian seperti di perusahaan modern.
Pegawai Pemerintah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
persyaratan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai Aparatur
Sipil Negara dengan status pegawai tidak tetap dengan perjanjian kerja untuk
menjalankan pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan
tertentu untuk masa kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pegawai Pemerintah dengan status pegawai tidak tetap
merupakan pegawai yang diangkat dengan perjanjian kerja untuk jangka waktu
paling singkat 12 (dua belas) bulan guna melaksanakan tugas pelayanan publik,
tugas pemerintahan dan tugas pembangunan pada Instansi dan Perwakilan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan Pegawai
Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja dalam bidang tertentu, pimpinan Instansi dapat mengangkat pekerja sementara
untuk jangka waktu paling singkat dari 12 (dua belas) bulan. Pekerja sementara dimaksud
tidak berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara dari Instansi
bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pekerja sementara
diatur dengan Peraturan Menteri.
Untuk melayani rakyat Indonesia yang berjumlah 237 juta
menurut Sensus 2010, diperlukan lebih kurang 4,73 juta orang pegawai, bila
rasio antara pegawai per penduduk adalah 1:50. Menurut statistik kepegawaian
yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawiaan Negara, pada Mei 2010 kekuatan Aparatur
Sipil Negara Indonesia terdiri dari 4,73 juta anggota dan pimpinan.
Dilihat dari jenis jabatannya, maka sebanyak 2.323.206
orang PNS atau 49% adalah pemangku jabatan fungsional umum, seperti:
pengadministrasi, pengetik, sopir, dan lain sebagainya. Sebanyak 2.172.684
orang PNS atau 46% merupakan pemangku jabatan fungsional tertentu, seperti:
guru, dosen, peneliti, perencana, widyaiswara, dan analis kepegawaian.
Sedangkan 236.582 orang PNS atau 5% adalah pemangku jabatan struktural, yaitu
eselon 5, 4, 3, 2, dan 1. Data PNS menurut jenis jabatannya selengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
Gambar 3. Jumlah PNS Menurut
Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin
Komposisi ideal jumlah PNS (rightsizing) untuk
ketiga jenis jabatan tersebut belum dapat ditentukan dengan tepat oleh
pemerintah karena harus dimulai dari visi misi setiap instansi pemerintah pusat
dan daerah saat menjabarkan visi misi pemerintahan.
Kekuatan
yang besar tersebut yang menduduki jabatan pada semua instansi pemerintah pusat
dan daerah belum terbangun kemampuannya karena Sistem Kepegawaian yang ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
belum sepenuhnya berhasil membangun kemampuan aparatur sipil Negara yang
profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek KKN, serta yang
miliki kinerja tinggi. Untuk itu melalui insitiatif DPR RI diajukan usulan RUU
tentang Aparatur Sipil Negara dengan ciri sebagai berikut:
• Menetapkan
Aparatur Sipil Negara sebagai nama profesi bagi pegawai Negara yang bertugas melaksanakan
kebijakan politik Pemerintahan.
• Menetapkan
Aparatur Sipil Negara sebagai jabatan profesional, bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktek KKN, yang menerapkan nilai-nilai dasar Negara dan etika
yang harus dilaksanakan oleh pimpinan dan pegawai, serta peraturan gaji dan
persyaratan kerja yang dapat menarik putra-putri terbaik bangsa;
• Menerapkan asas
merit atau perbandingan antara kompetensi yang diperlukan oleh jabatan dengan
kompetensi yang dimiliki calon dalam rekruitmen, pengangkatan, penempatan, dan
promosi pada jabatan;
• Mengintegrasikan
manajemen aparatur sipil Negara dengan susunan organisasi pada instansi
pemerintah melalui sistem manajemen berbasis jabatan (position based personnel
management system) yang merupakan best practices di Negara maju yang
lebih efektif untuk menghasilkan SDM Aparatur Negara yang profesional dan
berkinerja tinggi;
• Melindungi Aparatur Sipil Negara dari
intervensi politik melalui pemisahan antara Jabatan Politis dan Jabatan Karir
atau Jabatan Profesi Aparatur Negara melalui: (a) Pendelegasian sebagian
kewenangan penyelenggaraan dan pengawasan Aparatur Sipil Negara oleh Presiden
sebagai Kepala Negara kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, dan (b) Penetapan
non Pejabat Negara sebagai Pejabat Yang Berwenang dalam bidang Aparatur Sipil
Negara.
Sebelum RUU tentang Aparatur Sipil Negara, remunerasi
yang tidak berbasis kinerja, pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan, dan
tidak adanya lembaga regulasi independen yang diperlukan pada suatu sistem
pemerintahan demokratis amat mempengaruhi kinerja aparatur Negara.
Profesi Aparatur Sipil Negara terdiri dari Pegawai Negara
Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah (PP) yang menduduki Jabatan Eksekutif,
Jabatan Administratif, dan Jabatan Fungsional pada instansi Pemerintah,
pemerintah derah, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. PNS
merupakan pegawai yang memiliki status sebagai pegawai tetap sampai pegawai tersebut
berhenti sebagai PNS karena telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau berhenti sebagai karena berhalangan tetap. PP adalah
pegawai Aparatur Administrasi Negara yang diangkat dengan perjanjian kerja
untuk waktu lebih lama dari 12 (dua belas) bulan untuk menjalankan tugas
pelayanan publik dan atau tugas profesional pada insntansi Pemerintah, pemeritnah
daerah, dan perwakilan/Republik Indonesia di luar negeri. Jabatan profesi pada
Aparatur Negara dan Aparatur Sipil Negara ditetapkan dengan Undang-Undang.
BAB III
MATERI MUATAN RUU APARATUR SIPIL
NEGARA
Berdasarkan kerangka pemikiran sebagaimana diuraikan dalam Kerangka teoritis
dan empiris sebagaimana diuraikan dalam Bab II, materi RUU Aparatur Sipil
Negara akan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Materi Umum dan Materi
Khusus. Materi Umum memuat ketentuan tentang Aparatur Sipil Negara sebagi obyek
yang hendak diatur dalam UU tentang Aparatur Sipil Negara. Materi Khusus
mengandung ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan profesi Aparatur Sipil
Negara, pendelegasian kewenangan untuk mengatur Aparatur Sipil Negara oleh Presiden
kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, serta fungsi-fungsi manajemen Aparatur
Sipil Negara.
A. MATERI
UMUM
Materi Umum memuat ketentuan tentang Aparatur Sipil
Negara sebagi obyek yang hendak diatur dalam UU tentang Aparatur Sipil Negara.
1. Tata Cara
Penyelenggaraan Aparatur Sipil Negara
RUU tentang Aparatur Sipil Negara adalah UU yang mengatur
tata cara penyelenggaraan Aparatur Sipil Negara sebagai suatu profesi yang
profesional, bersih dari intervensi politik, bebas dari praktek KKN, efisien
dan efektf dalam menyelenggarakan pelayanan publik serta tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan. Karena itu yang menjadi obyek adalah pengaturan
dalam RUU ini adalah semua pegawai Aparatur Sipil Negara yang diangkat oleh Pejabat
Yang Berwenang melalui seleksi yang menerapkan asas merit yaitu perbandingan relatif
antara kompetensi yang diperlukan untuk suatu jabatan dengan kompetensi yang dimiliki
oleh calon, diangkat, ditempatkan dan dipromosikan pada jabatan melalui
penilaian obyektif, dan mendapat gaji dan terikat pada persyaratan kerja sampai
selesai masa tugasnya.
RUU Aparatur Sipil Negara tidak mencakup Pejabat Negara.
Pejabat Negara baik yang dipilih maupun yang diangkat oleh Presiden sebagai
Kepala Negara dan/atau Kepala Pemerintahan adalah pejabat yang menjalankan
tanggung jawab dalam penyelenggaraan kekuasaan atau merumuskan politik Negara
dalam bidang legislatif, ekskutif, yudikatif, auditif, dan moneter tugas
kepercayaan atau tugas pengabdian. Para pejabat bukan pegawai negeri dan bukan pegawai
pemerintah.
Pejabat Negara adalah pimpinan dan atau anggota lembaga
Negara baik yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 menetapkan Pejabat Negara terdiri
dari: Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Ketua, Wakil Ketua,
Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri dan Jabatan Setingkat Menteri, Kepala
Perwakilan Republik Indonesia uang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
Walikota dan Wakil Walikota, dan Pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Setelah amandemen UUD 1945 pejabat Negara bertambah dengan Ketua, Wakil Ketua,
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah
Konstitusi, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial.
2. Profesi Aparatur
Sipil Negara
Profesi Aparatur Sipil Negara dapat dipandang sebagai
bagian dari profesi Aparatur Negara yang terdiri dari pegawai jabatan sipil dan
anggota jabatan militer yang bertugas dan bertanggungjawab untuk melaksanakan
pencapaian tujuan kebijakan pemerintahan Negara yang disusun oleh para pejabat
Negara. Aparatur Negara Republik Indonesia terdiri dari Aparatur Sipil Negara
dan Tentara Nasional Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI yang dimaksud dengan TNI adalah pegawai Negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai
untuk tugas-tugas pertahanan Negara guna menghadapi ancaman militer maupun
ancaman bersenjata sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam RUU
ini TNI adalah Aparatur Negara.
Aparatur Sipil Negara adalah Aparatur Negara yang
menjalankan tugas pelayanan publik, tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan
pada semua instansi pemerintah dan pemerintah daerah. Aparatur Sipil Negara
terdiri dari Jabatan Eksekutif, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional.
Jenis dan macam jabatan fungsional ditetapkan dengan Undang-Undang. Pada saat
ini jabatan yang telah ditetapkan sebagai jabatan fungsional adalah Hakim (Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009), Polisi Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002), Guru dan Dosen (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005).
Untuk mendukung demokrasi yang menerapkan checks and balances diperlukan suatu aparatur
yang independen dan a-politis agar dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
dan pelayanan publik secara professional dan tanpa intervensi dari kekuatan politik.
Di beberapa Negara seperti India, Malaysia, Filipina, dan Srilangka otoritas
tersebut berada pada lembaga yang diatur dalam Konstitusi. Civil Service
Commission atau Public Service Commission tersebut pimpinan
dan anggotanya diangkat oleh kepala bukan oleh kepala pemerintah.
Agar dapat berjalan dengan baik, sistem manajemen
personalia berbasis jabatan harus memiliki independensi yang memadai, bebas dari
intervensi lembaga legislatif maupun pejabat politik di cabang eksekutif, baik
dalam kewenangan penyusunan regulasi kepegawaian, maupun dalam rekruitment dan
pengangkatan. Agar independesi tersebut dapat terselenggara perlu dibentuk
suatu Komisi Kepegawaian Negara, atau Komisi Pelayanan Publik, sebagai komisi
independen yang memiliki kewenangan menyusun regulasi kepegawaian, termasuk
penetapan sistem penggajian, sistim pensiun dan jaminan sosial, serta regulasi
tentang norma dan standar managemen kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 sebenarnya sudah memerintahkan pembentukan Komisi independen untuk mereformasi
sistem manajemen SDM aparatur, tetapi tanpa alasan yang jelas amanat tersebut
sampai sekarang belum dilaksanakan oleh Pemerintah.
B. MATERI
KHUSUS
Materi Khusus mengandung ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan
profesi Aparatur Sipil Negara, pendelegasian kewenangan untuk mengatur Aparatur
Sipil Negara oleh Presiden kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, serta fungsi-fungsi
manajemen Aparatur Sipil Negara.
1. Komisi Aparatur
Sipil Negara
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) adalah lembaga negara
yang mandiri, bebas dari intervensi politik, dan diberi kewenangan untuk
menetapkan regulasi mengenai profesi ASN, mengawasi pelaksanaan regulasi oleh
Instansi dan Perwakilan, dan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
KASN bertujuan: a) meningkatkan kekuatan dan kemampuan
ASN dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melaksanakan tugas pemerintahan dan
pembangunan untuk mencapai tujuan negara; b) menjamin agar ASN bebas dari
campur tangan politik; c) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan
negara yang efektif, efisien, jujur, terbuka, bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme; d) menciptakan sistem kepegawaian sebagai perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia; e) membangun ASN yang profesional, berkemampuan
tinggi, berdedikasi, dan terdepan dalam manajemen kebijakan publik; f)
mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; dan g) melakukan
pembinaan Pejabat Eksekutif Senior.
KASN berfungsi menetapkan peraturan mengenai profesi ASN
dan mengawasi pelaksanaan regulasi tersebut oleh Instansi dan Perwakilan.
KASN bertugas: a) mempromosikan nilai-nilai dasar dan
kode etik ASN; b) Mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai dasar ASN oleh Instansi
dan Perwakilan; c) menyusun pedoman analisis keperluan pegawai; d) memberikan
pertimbangan kepada Menteri dalam penetapan kebutuhan pegawai; e) mengusulkan
calon Pejabat Eksekutif Senior terpilih pada Instansi dan Perwakilan kepada
Presiden untuk ditetapkan; f) menyusun, meninjau ulang, dan mengevaluasi
kebijakan dan kinerja ASN pada Instansi dan Perwakilan; g) Mengevaluasi sistem
dan mekanisme kerja Instansi dan Perwakilan untuk menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai disiplin ASN; dan h) melakukan tugas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KASN berwenang: a) menetapkan peraturan mengenai
kebijakan pembinaan profesi ASN; b) melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan;
c) melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran peraturan; dan d)
melakukan manajemen kepegawaian Pejabat Eksekutif Senior. Selain wewenang di
atas, KASN berwenang menyampaikan saran kepada Presiden, Menteri, kepala
daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya untuk perbaikan, peningkatan
kekuatan, dan kemampuan ASN.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KASN dari anggota KASN
terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi ditetapkan oleh Presiden selaku Kepala
Negara. Anggota KASN terdiri dari unsur sebagai berikut: 1) wakil pemerintah
sebanyak 1 (satu) orang; 2) akademisi sebanyak 2 (dua) orang; 3) tokoh masyarakat
sebanyak 1 (satu) orang; 4) wakil organisasi ASN sebanyak 1 (satu) orang; dan
5) wakil daerah sebanyak 2 (dua) orang.
2. Manajemen
Aparatur Sipil Negara
Materi khusus RUU Aparatur Sipil Negara mengatur mengenai
pengelolaan atau manajemen aparatur sipil Negara yang mencakup berbagai unsur
sebagai berikut:
Matrik 1: Unsur Pengaturan RUU Aparatur Sipil Negara
NO
|
UNSUR
PENGATURAN
|
KONSEP DALAM
RUU APARATUR SIPIL NEGARA
|
1
|
2
|
3
|
1
|
Asumsi
tentang administrasi pemerintahan negara
|
Struktur administrasi pemerintahan profesional dan
modern, terdesentralisasi, bebas intervensi politik, bersih praktek KKN, dan
kinerja tinggi.
|
2
|
Tujuan RUU
|
Menetapkan Aparatur Sipil Negara suatu profesi yang
memiliki nilai dasar, etika profesi, kualitifikasi dan kompetensi khusus
sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan negara.
|
3
|
Obyek pengaturan
|
PNS (pegawai tetap) dan Pegawai Pemerintah (pegawai kontrak)
yang bekerja pada pada instansi Pemerintah, instansi pemerintah daerah, dan perwakilan
RI di LN yang terdiri dari:
a. Aparatur Eksekutif Senior, dan
b. Pegawai Jabatan Administrasi,
c. Pegawai Jabatan Fungsional, serta
d. Anggota POLRI.
|
4
|
Otoritas kepegawaian
|
1. Presiden sebagai Penanggung Jawab Tertinggi
pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pembinaan pegawai ASN.
2. Menteri adalah pembuat kebijakan umum
pendayagunaanpegawai ASN.
3. LAN adalah pelaksana dan Pembina litbang
administrasi dan pelaksana dan Pembina diklat kepegawian.
4. BKN adalah pelaksana dan Pembina administrasi
pegawai Instansi Pemerintah.
|
5
|
Komisi Aparatur Sipil
Negara
|
KASN yang terdiri dari 3‐5
anggota adalah lembaga Negara yang bertugas merumuskan regulasi tentang
profesi ASN dan mengawasi pelaksanaan regulasi tersebut oleh instansi
Pemerintah, pemerintah derah, dan perwakilan RI di LN.
|
6
|
Sistem manajemen
kepegawaian
|
Position based personnel management system.
|
7
|
Nilai‐nilai
dasar
|
Nilai dasar ideal dan nilai dasar pejabat publik.
|
8
|
Etika Profesi
|
Kode etika operasional bagi pegawai ASN.
|
9
|
Pelanggaran Kode Etik
|
Atasan wajib mengenakan sanksi atas pelanggaran Nilai
Dasar dan Kode Etik. Pelanggaran atas kewajiban tersebut dikenakan sanksi.
|
10
|
Perlindungan terhadap
pelapor
atau whisleblowers
|
Memberikan perlindungan kepada pegawai ang melaporkan
pelanggaran nilai dasar, kode etik, dan praktek KKN.
|
11
|
Aparatur Eksekutif
|
Pegawai Aparatur Eksekutif adalah pegawai ASN yang
bersifat nasional yang harus siap ditempatkan diseluruh daerah.
|
12
|
Aparatur Fungsional dan
Aparatur Administrasi
|
Pegawai Aparatur Fungsional adalah PNS dan/atau PP yang
menjalankan tugas pelayanan publik dalam bidang pendidikan formal, pelayanan
kedokteran dan kesehatan, penyuluh pertanian, penelitian dan rekayasa,
perpustakaan, laboratorium dan teknisi, serta lain‐lain
jabatan profesi yang ditetapkan dengan Undang‐Undang.
|
13
|
Akademi Aparatur Sipil
Negara
|
Kewajiban mengikuti pendidikan Akademi Aparatur Sipil Negara
bagi pegawai baru Jabatan Eksekutif dan perwira baru Polri.
|
14
|
Pengembangan Staf
|
Setiap pegawai ASN wajib menggunakan 10 persen hari
kerja setahun untuk berbagai kegiatan pengembangan profesi.
|
15
|
Mobilitas Staf
|
Kewajiban “tour of duty” adalah syarat promosi bagi
Pegawai Jabatan Eksekutif. Pada Instansi Pusat wajib melakukan “tour of duty”
antar daerah dan antar sector. Pada instansi provinsi wajib “tour of duty”
antar kabupaten dan kota dan antar dinas. Pada instansi kabupaten dan kota,
“tour of duty” antar kecamatan dan antar dinas kabupaten dan kota.
|
16
|
Sistem Penggajian
|
Sistem gaji berbasis kinerja menetapkan gaji harus
sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dipikul oleh pegawai. Gaji
pegawai tidak boleh terlalu berbeda dari gaji di perusahaan swasta.
|
17
|
Sistem pensiun
|
Mulai 1 januari 2012 menerapkan sistem “pay as you
go” untuk PNS (pegawai tetap ASN) dan “fully funded system” untuk
PP (pegawai kontrak ASN).
|
18
|
Penyelesaian perselisihan
|
1. Perselisihan tentang pelanggaran nilai dasar
dan Kode Etik diselesaikan melalui BAPEK sebagai badan arbitrase.
2. Perselisihan tentang tindakan administrasi
diselesaikan melalui PTUN.
3. Pelanggaran
pidana dan perdata melalui lembaga peradilan.
|
a. Asumsi
Tentang Administrasi Pemerintahan Negara
Struktur administrasi pemerintahan profesional dan
modern, terdesentralisasi, bebas intervensi politik, bersih praktek KKN, dan
kinerja tinggi.
b. Tujuan
RUU ASN
Menetapkan Aparatur Sipil Negara suatu profesi yang memiliki
nilai dasar, etika profesi, kualifikasi dan kompetensi khusus sebagai pelaksana
penyelenggaraan pemerintahan negara.
c. Obyek
pengaturan
Obyek pengaturan PNS (pegawai tetap) dan Pegawai
Pemerintah (pegawai kontrak) yang bekerja pada pada instansi Pemerintah,
instansi pemerintah daerah, dan Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang terdiri dari: 1) Aparatur Eksekutif Senior; 2) Pegawai Jabatan
Administrasi; 3) Pegawai Jabatan Fungsional; dan 4) Anggota POLRI.
Pegawai Aparatur Sipil Negara adalah pegawai
negeri sipil dan pegawai tidak tetap pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang secara kompetitif berdasarkan asas merit, dan diserahi tugas untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan tugas pembangunan negara,
profesional, memiliki nilai-nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta digaji berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pegawai Negeri Sipil adalah warga negara Indonesia yang
memenuhi persyaratan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai Pegawai
ASN dengan status pegawai tetap, bekerja di instansi dan perwakilan,
menjalankan kewenangan dan fungsi pemerintahan, dan dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sampai mencapai batas usia pensiun, meninggal
dunia, berhalangan tetap dan/atau diberhentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pegawai Tidak Tetap Pemerintah adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi persyaratan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang
sebagai Pegawai ASN dengan status pegawai tidak tetap dengan perjanjian kerja
untuk menjalankan pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan
tertentu dalam masa kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jabatan Eksekutif Senior adalah sekelompok
jabatan tertinggi pada instansi dan perwakilan. Aparatur Eksekutif Senior adalah
Pegawai ASN yang menduduki sekelompok jabatan tertinggi pada instansi dan
perwakilan melalui seleksi secara nasional yang dilakukan oleh komisi aparatur
sipil negara dan diangkat oleh Presiden.
Jabatan Administrasi adalah sekelompok jabatan yang
berisi tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan pelayanan administrasi,
manajemen kebijakan pemerintahan, dan pembangunan. Pegawai Jabatan Administrasi
adalah Pegawai ASN pada instansi dan perwakilan yang menjalankan tugas
pelayanan administrasi, manajemen kebijakan pemerintahan, dan pembangunan.
Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan yang
berisi tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan pelayanan fungsional. Pegawai
Jabatan Fungsional adalah Pegawai ASN pada instansi dan perwakilan yang
menjalankan tugas pelayanan fungsional berdasarkan keahlian dan keterampilan
tertentu. Pejabat yang Berwenang adalah pejabat karier tertinggi pada Instansi
dan Perwakilan.
d. Otoritas
Kepegawaian
Otoritas kepegawaian Presiden sebagai Penanggung Jawab
Tertinggi pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pembinaan pegawai ASN. Menteri
adalah pembuat kebijakan umum pendayagunaan pegawai ASN. LAN adalah pelaksana
dan Pembina litbang administrasi dan pelaksana dan Pembina diklat kepegawian.
BKN adalah pelaksana dan Pembina administrasi pegawai Instansi Pemerintah.
Untuk
melakukan pembinaan profesi dan Pegawai ASN, Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan
pembinaan dan manajemen ASN kepada:
1) Menteri,
berkaitan dengan kewenangan perumusan kebijakan umum pendayagunaan Pegawai ASN;
2) KASN, berkaitan
dengan kewenangan perumusan kebijakan pembinaan profesi ASN dan pengawasan
pelaksanaannya pada Instansi dan Perwakilan;
3) LAN, berkaitan
dengan kewenangan penelitian dan pengembangan administrasi pemerintahan negara,
pembinaan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN, dan penyelenggaraan lembaga
pendidikan Aparatur Sipil Negara; dan
4) BKN, berkaitan dengan kewenangan pembinaan manajemen
Pegawai ASN, penyelenggaraan eleksi nasional calon Pegawai ASN, pembinaan Pusat
Penilaian Kinerja Pegawai ASN, pemeliharaan dan pengembangan Sistem Informasi
Pegawai ASN, dan pembinaan pendidikan fungsional analis kepegawaian.
e. Komisi
Aparatur Sipil Negara
KASN yang terdiri dari 3-5 anggota adalah lembaga Negara
yang bertugas merumuskan regulasi tentang profesi ASN dan mengawasi pelaksanaan
regulasi tersebut oleh instansi Pemerintah, pemerintah derah, dan perwakilan RI
di LN. Selain itu, KASN berfungsi menetapkan peraturan mengenai profesi ASN dan
mengawasi pelaksanaan regulasi tersebut oleh Instansi dan Perwakilan. KASN
berkedudukan di ibukota negara dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
berasaskan: 1) profesionalitas; 2) keadilan; 3) non-diskriminasi; 4) tidak memihak;
5) keterbukaan; 6) akuntabilitas; dan 7) kerahasiaan.
f. Sistem
Manajemen Kepegawaian
Dalam UU ASN, sistem manajemen kepegawaian adalah position
based personnel management system dan keseluruhan manajemen ASN meliputi:
1) penetapan kebutuhan dan pengendalian jumlah; 2) pengadaan; 3)
jabatan; 4) pola karier; 5) penggajian, tunjangan, kesejahteraan, dan
penghargaan; 6) sanksi dan pemberhentian; 7) pensiun; dan 8)
perlindungan. Manajemen ASN di daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kualifikasi, Kompetensi, dan Penetapan Pegawai Aparatur
Sipil Negara
Penetapan kebutuhan Pegawai ASN merupakan analisis
keperluan jumlah, jenis, dan status Pegawai ASN yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas utama secara efektif dan efisien untuk mendukung beban kerja
Instansi dan Perwakilan. Pengumuman penetapan kebutuhan Pegawai ASN
dilaksanakan oleh KASN.
Setelah kebutuhan pegawai ASN ditetapkan, kemudian
dilakukan pengadaan calon Pegawai ASN yaitu kegiatan untuk mengisi jabatan yang
lowong. Pengadaan calon Pegawai ASN dilakukan melalui tahapan perencanaan,
pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa
percobaan, dan pengangkatan menjadi Pegawai ASN.
Seleksi penerimaan calon Pegawai ASN dilaksanakan oleh
Instansi atau Perwakilan untuk mengevaluasi secara obyektif kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, dan yang dimiliki
oleh pelamar. Seleksi calon Pegawai ASN terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu
seleksi administrasi, seleksi umum, dan seleksi khusus. Seleksi administrasi dilaksanakan
oleh Instansi atau Perwakilan masing-masing untuk memeriksa kelengkapan persyaratan.
Instansi atau Perwakilan yang menerima pendaftaran calon Pegawai ASN memberikan
nomor peserta penyaringan bagi pelamar yang sudah lulus persyaratan administrasi.
Seleksi umum dilaksanakan oleh Instansi atau Perwakilan masing-masing dengan
materi yang disusun oleh BKN. Seleksi khusus diselenggarakan oleh Instansi atau
Perwakilan dilakukan dengan membandingkan secara obyektif kualifikasi dan
kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan
persyaratan yang dibutuhkan oleh pelamar.
Kompetensi dimaksud meliputi: 1) kompetensi teknis yang
diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional,
dan pengalaman bekerja secara teknis; 2) kompetensi manajerial yang diukur dari
tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan 3) kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman
kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya
sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
Pembinaan
dan Pengembangan Aparatur Sipil Negara
Pegawai ASN diangkat dalam jabatan tertentu pada Instansi
atau Perwakilan. Pengangkatan dan penetapan Pegawai ASN dalam jabatan tertentu
ditentukan berdasarkan perbandingan obyektif antara kompetensi, kualifikasi,
dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi,
dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.
Setiap jabatan tertentu dimaksud dikelompokkan dalam
klasifikasi jabatan ASN yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan
pola kerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi jabatan dan klasifikasi
jabatan yang memuat jenis dan kategori jabatan pada Instansi dan Perwakilan
diatur dengan Peraturan Menteri. Setiap Pegawai ASN direkrut untuk menduduki
Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional yang lowong. Pegawai ASN dapat
berpindah jalur antar-Jabatan Eksekutif Senior, administrasi, dan fungsional
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.
Untuk menjamin keselarasan potensi ASN dengan kebutuhan
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan perlu disusun pola karier
ASN yang terintegrasi secara nasional. Setiap Instansi dapat menyusun pola
karier aparaturnya secara khusus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pola
karier nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola karir ASN secara nasional
diatur dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan KASN.
Setiap Pegawai ASN dinaikkan jabatannya secara
kompetitif. Kenaikan jabatan secara kompetitif dimaksud didasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai
kenaikan jabatan diatur dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan
KASN. Pengembangan karier ASN dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi,
dan penilaian kinerja. Pengembangan karier ASN dilakukan dengan mempertimbangkan
integritas dan moralitas.
Integritas diukur dari kejujuran, kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, kemampuan bekerja sama, dan pengabdian kepada
masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan moralitas diukur dari penerapan dan
pengamalan nilai-nilai etika agama, budaya, dan sosial kemasyarakatan.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan ASN dilakukan
penilaian kinerja. Penilaian kinerja pegawai ASN berada di bawah kewenangan
Pejabat yang Berwenang pada Instansi masing-masing. Penilaian kinerja Pegawai
ASN didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari Pegawai ASN.
Penilaian kinerja Pegawai ASN dapat juga dilakukan oleh bawahan kepada
atasannya. Penilaian kinerja Pegawai ASN dilakukan berdasarkan perencanaan
kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan
target, sasaran, hasil, dan manfaat yang dicapai. Penilaian kinerja Pegawai ASN
dilakukan secara obyektif, terukur, akuntabel, partisipasi, dan transparan.
Hasil penilaian kinerja Pegawai ASN disampaikan kepada Tim Penilai Kinerja
Pegawai ASN. Hasil penilaian kinerja Pegawai ASN dimanfaatkan untuk menjamin
obyektivitas dalam pengembangan ASN, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam
pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi,
mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Hak Dan Kewajiban Pimpinan Dan Pegawai Aparatur Sipil
Negara
Pegawai ASN berhak memperoleh: 1) gaji, tunjangan, dan
kesejahteraan yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawabnya; 2) cuti; 3) pengembangan kompetensi; 4) biaya perawatan; 5) tunjangan
bagi yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan sebagai akibat
menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi
dalam jabatan apapun; 6) uang duka; dan 7) pensiun bagi yang telah mengabdi
kepada negara dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Pegawai ASN wajib: 1) setia dan taat kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; 2) menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; 3) menaati semua
ketentuan peraturan perundangundangan; 4) melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan
tanggung jawab; 5) menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap,
perilaku, tindakan, dan ucapan kepada setiap orang baik di dalam maupun di luar
kedinasan; dan 6) menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan
rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Nilai-Nilai Dasar
Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah nilai dasar ideal
yang berlaku bagi Aparatur Sipil Negara sekaligus juga merupakan nilai dasar
bagi pejabat publik. Nilai-nilai dasar ASN dalam menjalankan tugasnya adalah
sebagai berikut: 1) memegang teguh nilai-nilai dalam ideologi negara Pancasila;
2) setia dan mempertahankan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; 3) menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; 4) membuat
keputusan berdasarkan prinsip keahlian; 5) menciptakan lingkungan kerja yang
non-diskriminatif; 6) memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang
luhur; 7) mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; 8)
memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program Pemerintah; 9)
memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat,
berdaya guna, berhasil guna, dan santun; 10) mengutamakan kepemimpinan
berkualitas tinggi; 11) menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerjasama; 12)
mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; 13) mendorong
kesetaraan dalam pekerjaan; dan 14) meningkatkan efektivitas sistem
pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier.
h. Etika
Profesi
Untuk menjaga martabat dan kehormatan pegawai ASN maka
disusun suatu kode etika operasional bagi pegawai ASN. Kode etik Aparatur sipil
Negara memuat ketentuan bahwa Pegawai ASN: 1) menjalankan tugas dengan jujur,
hati-hati, rajin, dan berintegritas; 2) bersikap hormat, sopan, dan santun; 3)
menaati ketentuan peraturan perundangundangan; 4) taat pada arahan dari atasan
atau Pejabat yang Berwenang; 5) menjaga kerahasiaan yang berkaitan dengan
kebijakan yang dibuat oleh Pejabat Negara; 6) menggunakan kekayaan dan barang
milik negara dengan sebaik dan seefisien mungkin untuk kepentingan masyarakat;
7) menjaga agar tidak terjadi pertentangan kepentingan dalam pelaksanaan
tugasnya; 8) memegang teguh nilai-nilai dasar ASN dengan selalu menjaga
reputasi dan integritas profesi dalam menjalankan tugasnya; dan dilarang menyalahgunakan
informasi publik dan/atau tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk
mendapatkan, mencari keuntungan, serta manfaat bagi diri sendiri atau orang
lain.
Dalam menjalankan tugas sebagai ASN dibentuk Perkumpulan
Profesi yaitu Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Sesuai dengan etika
profesi ASN di atas, Korpri juga memiliki kode etik yang merupakan pedoman
sikap dan tingkah laku angotanya. Kode Etik Korpri yang terangkum dalam Panca
Parsetya Korpri merupakan Keputusan Musyawarah Nasional VI KORPRI
Nomor : KEP- 08/MUNAS/2004
tentang Kode Etik KORPRI dan Penjelasannya. Adapun kode etika Korpri
selengkapnya adalah: 1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2)
Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan
dan rahasia negara; 3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan
pribadi dan golongan; 4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta
kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia; 5) Berjuang menegakkan kejujuran
dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.
i. Pelanggaran
Kode Etik
Pejabat yang Berwenang wajib mengenakan sanksi terhadap
pelanggaran nilai dasar dan kode etik. Ketentuan lebih lanjut mengenai kode
etik Pegawai ASN, sanksi, dan tata beracara penyelesaian dugaan pelanggaran
kode etik Pegawai ASN diatur dengan Peraturan KASN.
Pegawai
ASN yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dikenakan sanksi. Jenis
pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai ASN terdiri dari:
1) pelanggaran
ringan;
2) pelanggaran
sedang; dan/atau
3) pelanggaran
berat.
Sanksi diberikan
kepada Pegawai ASN berupa:
1) sanksi
administratif; atau
2) sanksi
pidana.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian
sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. Perlindungan
Terhadap Pelapor Atau Whisleblowers
Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum,
perlindungan keselamatan, dan perlindungan kesehatan kerja terhadap Pegawai ASN
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perlindungan hukum yang dimaksud
meliputi perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya dan memperoleh bantuan
hukum terhadap kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya
sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perlindungan keselamatan dan perlindungan kesehatan kerja
meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan
kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja,
dan/atau risiko lain. Dengan demikian memberikan perlindungan kepada pegawai
yang melaporkan pelanggaran nilai dasar, kode etik, dan praktek KKN. Ketentuan
lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap Aparatur Sipil Negara dalam
menjalankan tugas dan kewajiban diatur dengan Peraturan KASN.
k. Aparatur
Eksekutif Senior (AES)
Aparatur Eksekutif Senior adalah bagian dari pegawai ASN
yang menempati kedudukan yang ditetapkan sebagai kedudukan eksekutif oleh KASN.
Pegawai AES adalah pegawai Aparatur Sipil Negara yang bersifat nasional yang
pengelolaannya dilakukaan secara nasional oleh KASN tetapi ditempatkan pada
semua insntansi pemerintah pusat dan pemerintah di seluruh wilayah negara dan
di luar negeri.
Aparatur
Eksekutif Senior merupakan unsur ASN yang menduduki jabatan eksekutif pada Instansi
dan Perwakilan. Aparatur Eksekutif Senior berfungsi memimpin dan mendorong setiap
Pegawai ASN pada Instansi dan Perwakilan melalui:
1) kepeloporan
dalam bidang: a) keahlian profesional; b) analisis dan rekomendasi kebijakan;
dan c) kepemimpinan manajemen.
2) mengembangkan
kerjasama dengan Instansi lain; dan
3) keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai
dasar ASN dan melaksanakan kode etik ASN.
Pejabat Eksekutif Senior yang menduduki jabatan eksekutif
tertinggi pada Instansi dan Perwakilan berfungsi sebagai Pejabat yang Berwenang
dalam bidang kepegawaian ASN pada Instansi dan Perwakilan. Ketentuan mengenai
hak, kewajiban, dan kewenangan Pejabat Eksekutif Senior diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Jabatan Eksekutif Senior terdiri dari pejabat
struktural tertinggi, staf ahli, analis kebijakan, dan pejabat lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan “pejabat
struktural tertinggi” antara lain Wakil Menteri, Sekretaris Jenderal, Direktur
Jenderal, Inspektur Jenderal, Sekretaris Daerah,dan Kepala Lembaga Pemerintah
non Kementerian. Yang dimaksud dengan “staf ahli” antara lain Staf Ahli
Presiden, Staf Ahli Pimpinan Lembaga Negara, dan Staf Ahli Menteri. Yang
dimaksud dengan “analis kebijakan” adalah pejabat fungsional yang memiliki pangkat
dan golongan tertinggi dalam jabatannya. Yang dimaksud dengan “pejabat lainnya”
adalah jabatan-jabatan selain yang disebutkan dan diatur berdasarkan undang-undang.
Setiap Jabatan Eksekutif Senior ditetapkan kompetensi,
kualifikasi, integritas, dan persyaratan lain yang dibutuhkan. Penetapan
kompetensi, kualifikasi, integritas, dan persyaratan lain yang dibutuhkan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengisian Jabatan Eksekutif Senior untuk
jabatan struktural pada kementerian dan kesekretariatan lembaga negara
dilakukan melalui promosi dari Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari seluruh Instansi
dan Perwakilan. Pengisian Jabatan Eksekutif Senior sebagai kepala lembaga pemerintah
non kementerian, staf ahli, dan analis kebijakan dilakukan melalui seleksi oleh
KASN yang berasal dari PNS, Pejabat kalangan swasta, Badan Usaha Milik Negara,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Rumusan Alternatif: Pengisian Jabatan Eksekutif
Senior sebagai kepala lembaga pemerintah non kementerian, staf ahli, dan analis
kebijakan ditetapkan oleh Presiden Pejabat Eksekutif Senior dilarang merangkap
jabatan lain baik dalam jabatan negara maupun jabatan politik. Ketentuan
mengenai klasifikasi jabatan eksekutif senior diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
l. Aparatur
Fungsional dan Aparatur Administrasi
Pegawai Aparatur Fungsional adalah PNS dan/atau PP yang
menjalankan tugas pelayanan publik dalam bidang pendidikan formal, pelayanan
kedokteran dan kesehatan, penyuluh pertanian, penelitian dan rekayasa, perpustakaan,
laboratorium dan teknisi, serta lain-lain jabatan profesi yang ditetapkan
dengan Undang-Undang.
Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri dari jabatan
fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Jabatan fungsional
keahlian terdiri dari ahli pertama, ahli muda, ahli madya, dan ahli utama.
Jabatan fungsional keterampilan terdiri dari pemula, terampil, dan mahir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional
keterampilan diatur dengan Peraturan Menteri.
Jabatan Administrasi dalam ASN terdiri dari jabatan
pelaksana, jabatan pengawas, dan jabatan administrator. Jabatan pelaksana
bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik, administrasi
pemerintahan, dan pembangunan. Jabatan pengawas bertanggung jawab mengawasi
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana. Jabatan
administrator bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan
publik, administrasi pemerintahan, dan pembangunan. Setiap jabatan tersebut
ditetapkan kompetensi yang dibutuhkan. Penetapan kompetensi yang dibutuhkan dan
ketentuan mengenai klasifikasi Jabatan Administrasi diatur dengan Peraturan
Menteri.
m. Lembaga
pendidikan Aparatur Sipil Negara
Setelah diangkat sebagai pegawai AES setiap calon pegawai
wajib mengikuti pendidikan pada Lembaga pendidikan Aparatur Sipil Negara yang
berlangsung selama 6 (enam) bulan. Setelah menyelsaikan pendidikan Calon
Pegawai AES, pegawai PNS baru ditempatkan pada instansi Pemerintah Pusat,
perwakilan, dan/atau pemerintah daerah.
n. Pengembangan
Staf
Setiap pegawai ASN wajib menggunakan 10 persen hari kerja
setahun untuk berbagai kegiatan pengembangan profesi. LAN Sebagai contoh: BKN
mulai tahun 2007 menyelenggarakan Pendidikan Ilmu Kepegawaian (PIK) dengan
konsentrasi manajemen kepegawaian pada jenjang Sarjana/Strata 1 yang bertujuan
untuk mencetak Para Analis Kepegawaian tingkat Ahli yang akan mengatasi masalah-masalah
kepegawaian di pusat maupun daerah.
o. Mobilitas
Staf
Kewajiban “tour of duty” adalah syarat promosi
bagi Pegawai Jabatan Eksekutif. Pada Instansi Pusat wajib melakukan “tour of
duty” antar daerah dan antar sektor. Pada instansi provinsi wajib “tour
of duty” antar kabupaten dan kota dan antar dinas. Pada instansi kabupaten
dan kota, “tour of duty” antar kecamatan dan antar dinas kabupaten dan
kota.
Mutasi dalam konteks mobilitas staf merupakan perpindahan
tugas atau perpindahan lokasi dalam satu Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat,
satu Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi
Daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mutasi dilakukan oleh
Pejabat yang Berwenang dalam wilayah kewenangannya. Pembiayaan sebagai akibat
dilakukannya mutasi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
p. Sistem
Penggajian
Sistem gaji berbasis kinerja menetapkan gaji harus sesuai
dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dipikul oleh pegawai. Gaji pegawai
tidak boleh terlalu berbeda dari gaji di perusahaan swasta.
Penghargaan
dan Gaji
Pegawai ASN yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian,
kecakapan, kejujuran dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugasnya dianugerahkan
tanda kehormatan Satyalancana. Tanda kehormatan tersebut diberikan secara
selektif hanya kepada Pegawai ASN yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Setiap penerima tanda kehormatan berhak atas
penghormatan dan penghargaan dari negara. Penghormatan dan penghargaan dimaksud
dapat berupa: 1) pengangkatan atau kenaikan jabatan secara istimewa; 2)
pemberian sejumlah uang sekaligus atau berkala; dan/atau 3) hak protokol dalam
acara resmi dan acara kenegaraan.
Hak memakai Satyalancana dicabut apabila Pegawai ASN yang
bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai Pegawai ASN atau tidak lagi memenuhi persyaratan yang
telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencabutan tanda
kehormatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan atas usul Pejabat yang Berwenang.
Disamping penghargaan, Pemerintah wajib membayar gaji
yang adil dan layak kepada Pegawai ASN sesuai dengan beban pekerjaan dan
tanggung jawab Pegawai ASN. Gaji harus memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraan Pegawai ASN. Gaji dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Selain gaji, Pegawai ASN juga menerima tunjangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Tunjangan tersebut tidak boleh melebihi
gaji.
Selain gaji, pemerintah daerah dapat memberikan tunjangan
kepada Pegawai ASN didaerah sesuai dengan tingkat kemahalan. Dalam pemberian
tunjangan, pemerintah daerah wajib mengukur tingkat kemahalan berdasarkan
indeks harga yang berlaku di daerahnya masing-masing. Tunjangan dimaksud
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tunjangan diatur dengan peraturan daerah. Selain gaji dan
tunjangan, Pemerintah memberikan jaminan sosial kepada Pegawai ASN. Jaminan sosial
bertujuan untuk menyejahterakan Pegawai ASN.
q. Sistem
Pensiun
Mulai 1 januari 2012 menerapkan sistem “pay as you go”
untuk PNS (pegawai tetap ASN) dan “fully funded system” untuk PP
(pegawai kontrak ASN).
Pensiun
Pensiun pegawai ASN yang berstatus PNS dan pensiun
janda/duda diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas
pengabdian ASN. Pegawai ASN yang berhenti dengan hormat berhak menerima pensiun
apabila telah mencapai batas usia pensiun. Pegawai ASN yang telah mencapai
batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai ASN. Usia
pensiun bagi Pegawai Jabatan Administrasi adalah 58 (lima puluh delapan) tahun.
Usia pensiun bagi Pegawai Jabatan Fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Usia pensiun bagi Pejabat Eksekutif Senior adalah 60 (enam
puluh) tahun. Sumber pembiayaan pensiun berasal dari iuran Pegawai ASN yang
bersangkutan dan pemerintah selaku pemberi kerja dengan perbandingan 1:2 (satu banding
dua). Pengelolaan dana pensiun diselenggarakan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pensiun
Pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.
r. Penyelesaian
Perselisihan
Perselisihan tentang pelanggaran nilai dasar dan Kode
Etik diselesaikan melalui BAPEK sebagai badan arbitrase. Perselisihan tentang
tindakan administrasi diselesaikan melalui PTUN. Pelanggaran pidana dan perdata
melalui lembaga peradilan.
Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya
administratif dan Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya administratif tersebut terdiri
dari keberatan dan banding administratif. Keberatan yang dimaksud diajukan
secara tertulis kepada atasan Pejabat yang Berwenang menghukum dengan memuat
alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada Pejabat yang Berwenang
menghukum. Banding administratif tersebut diajukan kepada Badan Pertimbangan
Aparatur Sipil Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Secara sistematik hubungan antara RUU ASN dengan berbagai
peraturan perundang-undangan dapat digambarkan dalam matriks sebagai berikut:
Matrik 2:
Keterkaitan RUU ASN dengan UUD Tahun 1945 dan UU lain
No
|
Materi RUU ASN
|
Peraturan
Perundang-Undang Terkait
|
1
|
Ketentuan Umum
|
1. UUD NKRI 1945
|
2
|
Jenis, Status, dan
Kedudukan
|
2. UU No 32 Tahun
2004
|
3
|
Fungsi, Tugas, dan
Peran
|
3. UU No 11 Tahun
1969
|
4
|
Nilai-Nilai Dasar
|
4. UU No 17 Tahun
2003
|
5
|
Hak dan Kewajiban
|
5. UU No 1 Tahun
2004
|
6
|
Kode Etika Pegawai
Aparatur Sipil Negara
|
6. UU No 28 Tahun
1999
|
7
|
Manajemen Pegawai Aparatur Sipil Negara
·
Penetapan
Kebutuhan dan Pengendalian Jumlah
·
Pengadaan
·
Jabatan
·
Pola Karir
·
Penggajian,
Tunjangan, Kesejahteraan, dan Penghargaan
·
Sanksi dan
Pemberhentian
·
Pensiun
·
Perlindungan
·
Pengangkatan
pada Jabatan Politik
·
Organisasi
·
Sistem
Informasi
|
7. UU No 14 Tahun
2005 (Guru dan Dosen)
8. UU No 2 Tahun 2002 tentang POLRI
9. UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI
10. UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
|
8
|
Kelembagaan
|
|
9
|
Komisi Aparatur Sipil
Negara
|
|
10
|
Organisasi
Aparatur Sipil Negara
|
|
11
|
Penyelesaian Sengketa
|
|
12
|
Ketentuan Penutup
|
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Komponen
vital Aparatur Sipil Negara yang terdiri dri 4,7 juta PNS dan 363 ribu anggota Polri
adalah modal Bangsa Negara yang harus selalu diperlihara, dikembangkan, dan diperbaharui
kapasitasnya untuk menghadapi tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh bangsa.
Karena pendekatan yang terlalu mikro dan hanya bersifat instansional, modal
besar tersebut kurang tersentuh oleh Program Reformasi Birokrasi Nasional.
2. Amandemen
terhadap UUD 1945 sebanyak 4 kali pada 1998 sampai 2002 telah menghasilkan
perubahan yang amat mendasar pada berbagai bidang kehidupan bangsa. Kombinasi
sistem demokrasi multi partai dan sistem presidensiil telah melahirkan pemerintahan
koalisi yang stabilitasnya yang lemah, dan sangat dipengaruhi oleh komitmen dan
kepentingan politik dari anggota-anggota koalisi.
3. Menyadari
kondisi tersebut RPJP Nasional 2005-2024 menetapkan pembangunan Aparatur Negara
dilakukan melalui Reformasi Birokrasi, dimana salah satu komponennya adalah
reformasi kepegawaian. Untuk melaksanakan reformasi kepegawaian tersebut perlu
diusulkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 karena kedua Undang-Undang tersebut tidak memadai lagi
untuk mendukung paradigma manajemen sumber daya aparatur Negara yang berbasis
manajemen strategis sumber daya manusia (strategic human resource
management).
4. Berdasarkan
perspektif Strategic Human Resource Management tersebut RUU ASN mengusulkan
penetapan PNS dan PP sebagai pegawai profesi bernama Aparatur Sipil Negara yang
memiliki nilai dasar, etika profesi, kualifikasi dan standar kompetensi yang
ditetapkan dengan Undang-Undang.
5. Untuk
memimpin lebih kurang 2,2 juta pegawai ASN yang bertugas menjalankan tugas dan
fungsi pemerintahan negara, dan 2,5 juta yang menjlankan tugas pelayanan pendidikan,
kesehatan, pembangunan pertanian, pembangunan prasarana dan sarana tansportasi
dan komunikasi, RUU ASN mengusulkan pembentukan Aparatur Eksekutif Senior
(AES), yang dikelola secara terspisah dari pengelolaan pegawai Aparatur Sipil Negara
yang menduduki Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional. Pegawai AES adalah
bagian dari pegawai ASN yang pengelolaannya dilakukan secara nasional dengan status
sebagai pegawai pemerintah pusat dan dikelola langsung oleh KASN.
6. Sejalan
dengan itu RUU ASN untuk lebih meningkatkan penerapan prinsip merit dalam setiap
tahap manajemen kepegawaian ASN, diusulkan untuk mengganti sistem kepegawaian
berbasis karir (career based personnel management) dengan sistem manajemen
kepegawaian berbasis jabatan (position based personnel management) yang
menjadi best practices di banyak Negara maju.
7. Selama
satu dekade melaksanakan Reformasi terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa
terjadi erosi yang cepat terhadap peran pegawai ASN sebagai perekat NKRI. Peningkatan
etnosentrisme dalam manajemen kepegawaian ini harus segera diatasi agar pegawai
ASN dimasa depan kehilangan fungsinya sebagai perekat Negara bangsa. Untuk itu
kewenangan pembinaan manajemen pegawai ASN akan didelegasikan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah.
8. RUU ASN ini juga mengusulkan penataan dalam
pelaksanaan kewenangan pembinaan pegawai ASN yang secara konstitusional berada
pada Presiden. Fungsi Presiden sebagai Pembina Tertinggi Profesi ASN tetap
berlaku, tetapi dalam melaksanakan kewenangan tersebut Presiden mendelegasikan
kewenangan pengaturan profesi ASN kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, dan
mendelegasikan kewenangan pendayagunaan pegawai ASN kepada Menteri. Selanjutnya
LAN akan menjalankan tugas melaksanakan penelitian dan pengkajian administrasi
Negara dan menyelenggarakan diklat pengembangan kepemimpinan pegawai ASN. BKN
diberikan tugas untuk menyelenggarakan administrasi kepegawaian untuk PNS dan
PP serta membina pelaksanaan administrasi kepegawaian oleh instansi pusat dan daerah.
B. SARAN
Mengamati
Program Reformasi Birokrasi yang ditempuh oleh Pemerintah sebagaimana tertuang
dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014
belum terlalu menyentuh perubahan mendasar guna membangun kekuatan dan kemampuan
pegawai Aparatur Sipil Negara oleh Instansi Pemerintah yang berwenang,
disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. DPR bersedia mempertimbangkan penggunaan hak
inisitatif untuk mengajukan RUU Aparatur Sipil Negara.
2. Pegawai Aparatur Negara termasuk Aparatur Sipil
Negara merupakan modal Bangsa dan Negara yang harus selalu dijaga dengan baik,
dikembangkan, dan dihargai. Karena itu disarankan untuk menerapkan managemen
kepegawaian Aparatur Sipil Negara yang membantu dan mendukung para Pegawai
Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah yang tergabung dalam ASN untuk
merealisasikan seluruh potensi mereka sebagai pegawai pemerintah dan sebagai
warganegara. Paradigma ini mengharuskan perubahan dari perspektif lama
manajemen kepegawaian yang menekankan hak dan kewajiban individual pegawai
menjadi perspektif pengembangan sumber daya manusia (human resourse
development) Aparatur Sipil Negara serta pola baru manajemen untuk menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pad Abad 21.
3. Untuk memberikan landasan hukum untuk pola
manajemen pemerintahan Negara dan manajemen pengembangan sumberdaya manusia
Aparatur Negara tersebut dipandang perlu mengajukan perubahan menyeluruh
terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang menerapkan paradigma dengan
perspektif pengembangan sumber daya manusia pada profesi aparatur Sipil Negara.
4. Untuk melaksanakan paradigm berperspektif
pengembangan sumber daya manusia tersebut diperlukan penerapan sistem manajemen
Aparatur Sipil Negara berbasis jabatan (position-based personnel management system) dengan menerapkan
asas merit dalam setiap tahap management pengembangan sumber daya Aparatur
Sipil Negara, khususnya pada seleksi, pengangkatan, penempatan, dan promosi
pegawai ASN.
5. RUU ASN ini sekaligus juga harus
digunakan untuk melakukan reformasi total terhadap sistem penggajian pegawai
ASN berbasis kinerja, dan terhadap sistem pensiun pegawai ASN. Sistem pensiun
yang digunakan selama ini yaitu sistem pensiun “pay as you go” yang
membebankan pembayaran manfaat pensiun sepenuhnya pada APBN, dan akan mencapai
jumlah Rp 85-90 triliun rupiah per tahun pada 2015 harus ditinggalkan, diganti
dengan sistem gabungan yaitu penerapan sistem “pay as you go” untuk
lebih kurang 1.7 juta PNS dan sistem “fully funded” untuk lebih kurang 3
juta Pegawai Pemerintah.
DAFTAR REFERENSI
Ambar Widaningrum. et.al., Governance
Reform in Indonesia and Korea: A Comparative Perspective. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press, 2011.
Asian Development Bank. Country
Governance Assessment Report: Republic of Indonesia. Manila. Asia
Development Bank. 2004.
Geoff Dixon and Danya Hakim. “Making
Indonesia’s Budget Decentralization Works,” Research in Public Policy
Analysis and Management, Vol 18. Pp 207-245.
Helen de Cieri, Robin Kramar, Noe
Hollenbeck, and Gerhart Wright. Human Resource Management in Australia.
Sydney. Mc Graw-Hill Australia Ltd. 2005.
Lawrence R. Jones, Kimo Schedder,
and Ricardo Mussari. “Strategies for Public Management Reform,” Research
in Public Policy Analysis and Management, Vol. 13.
Mark Turner, et.al., Human
Resource Management and Regional Autonomy. Canberra. Crawford School of
Economics and Government, The Australian National University, 2009.
Office of Personel Management. U.S.
of America, Strategic Human Resource Management: Alligning
with Organization’s Mission. Washington DC, OPM, 1999.
Sekretariat Negara R.I. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara. Jakarta, Setneg
RI: 1975
____________________ Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara. Jakarta: Setneg
RI, 2000.
_____________________ Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Setneg
RI. 2004.
______________________ Undang
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan
Keuangan Daerah. Jakarta, Setneg R.I. 2004.
Sofian Effendi, “Second Generation
Reform of Indonesian Public Administration,” Paper presented at
International Seminar on Administrative Sciences, held jointly by the
National Institute of Public Administration and the International Association
of Administrative Sciences, Denpasar, Bali, July 14-16, 2010.
____________, “Reformasi Aparatur
Negara,” White Paper. Jakarta. National Agency for Civil Service
Administration. 1999.
Stein Kristiansen and M. Ramli.
“Buying an Income: The Market for Civil Service Positions in Indonesia.” Contemporary
Southeast Asia, 26, No. 2 (20089), pp 207-233.
Stein Kristiansen, Agus Dwiyanto,
Agus Pramusinto, and Erwan Agus Putranto. “Public sector reforms and financial
transparency: experiences from Indonesian districts.” Contemporary
Southeast Asia. April 2009. P 2.
UN-Indonesia. Report
on the Achievement of Millenium Development Goals, Indonesia, 2007.
Jakarta. UN and National Development Planning Board. 2007.
World Bank. Mission Report: A
World Bank Programming Mission on Civil Service Reform to Indonesia, 2-13
February, 2009. Jakarta: The World Bank. 2009.
[1] Kristiansen, Stein. Recovering the
costs of power: Corruption in local political and civil service positions in
Indonesia. Jakarta. CSIS. 2009.
[2] Wawancara dengan peneliti, 12 Februari
2011.
[3] World Bank.
[4] Kristiansen, Stein. Recovering the costs
of power: Corruption in local political and civil service positions in
Indonesia. Jakarta. CSIS. 2009.
[5] Dalam rapat‐rapat
Panja muncul usulan nama lain seperti Pegawai Negeri Tidak Tetap (PNTT), dan
Pegawai Pemerintah (PP). Tetapi Panja RUU‐ASN
------------------------------------
Dengan perubahan ini, maka Korpri yang nantinya bernama Korps ASN diharapkan dapat mendukung
percepatan pembangunan. Azwar memang tak menampik tentang banyaknya krititikan yang ditujukan ke
Korpri. Karena itu, anggota Korpri harus melakukan inovasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik
yang makin murah, cepat, mudah dan baik.
"Segenap anggota Korpri harus membangun budaya birokrasi yang kredibel dan akuntabel. Mendukung
upaya pemberantasan korupsi dan perilaku koruptif di semua lini birokrasi," tegasnya.
Mengenai penghapusan Korpri, lanjut Azwar, istilah tersebut di dalam RUU ASN sudah ditiadakan. Hanya
saja yang kini menjadi pertanyaan, apakah Korps ASN berbentuk kedinasan atau non dinas. Sebab jika
masih berbentuk kedinasan, berarti masih ada jabatan struktural. Padahal yang diharapkan adalah
penghapusan jabatan struktural.
"Intinya semangat RUU ASN, Korpri diubah jadi Korps ASN yang profesional dan netral. Tidak boleh
dimanfaatkan oleh parpol manapun," pungkasnya. (Esy/jpnn)
Korpri Dibubarkan, Diganti Korps Aparatur Sipil Negara
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN&RB) Azwar Abubakar,
mengungkapkan bahwa Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) akan dibubarkan. Sebagai gantinya,
akan dibentuk Korps Aparatur Sipil Negara.
Azwar mengatakan, penghapusan Korpri itu dituangkan dalam Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil
Negara (ASN). Menurutnya, pembubaran Korpri itu juga sejalan dengan amanat presiden. Sebab melalui
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri agar wadah
pegawai negeri itu menjadi organisasi profesional dan netral. “Sesuai amanat presiden, Korpri harus menjadi
organisasi yang netral. Karena itu dalam RUU ASN, keberadaan Korpri akan diganti dengan Korps
Aparatur Sipil Negara agar lebih profesional,” kata Azwar di Jakarta, Kamis (1/12).
Dengan perubahan ini, maka Korpri yang nantinya bernama Korps ASN diharapkan dapat mendukung
percepatan pembangunan. Azwar memang tak menampik tentang banyaknya krititikan yang ditujukan ke
Korpri. Karena itu, anggota Korpri harus melakukan inovasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik
yang makin murah, cepat, mudah dan baik.
“Segenap anggota Korpri harus membangun budaya birokrasi yang kredibel dan akuntabel. Mendukung
upaya pemberantasan korupsi dan perilaku koruptif di semua lini birokrasi,” tegasnya.
Mengenai penghapusan Korpri, lanjut Azwar, istilah tersebut di dalam RUU ASN sudah ditiadakan. Hanya
saja yang kini menjadi pertanyaan, apakah Korps ASN berbentuk kedinasan atau non dinas. Sebab jika
masih berbentuk kedinasan, berarti masih ada jabatan struktural. Padahal yang diharapkan adalah
penghapusan jabatan struktural.
“Intinya semangat RUU ASN, Korpri diubah jadi Korps ASN yang profesional dan netral. Tidak boleh
dimanfaatkan oleh parpol manapun,” pungkasnya. (Esy/jpnn)
NASIONAL - HUMANIORA
Jum'at, 02 Desember 2011 , 00:02:00
JAKARTA -
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN&RB)
Azwar
Abubakar, mengungkapkan bahwa Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) akan dibubarkan. Sebagai
gantinya, akan dibentuk Korps Aparatur Sipil Negara.
Abubakar, mengungkapkan bahwa Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) akan dibubarkan. Sebagai
gantinya, akan dibentuk Korps Aparatur Sipil Negara.
Azwar mengatakan, penghapusan Korpri itu dituangkan dalam Rancangan
Undang-undang Aparatur Sipil
Negara (ASN). Menurutnya, pembubaran Korpri itu juga sejalan dengan amanat presiden. Sebab melalui
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri agar wadah
pegawai negeri itu menjadi organisasi profesional dan netral.
"Sesuai amanat presiden, Korpri harus menjadi organisasi yang netral. Karena itu dalam RUU ASN,
keberadaan Korpri akan diganti dengan Korps Aparatur Sipil Negara agar lebih profesional," kata Azwar di
Jakarta, Kamis (1/12).
Negara (ASN). Menurutnya, pembubaran Korpri itu juga sejalan dengan amanat presiden. Sebab melalui
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri agar wadah
pegawai negeri itu menjadi organisasi profesional dan netral.
"Sesuai amanat presiden, Korpri harus menjadi organisasi yang netral. Karena itu dalam RUU ASN,
keberadaan Korpri akan diganti dengan Korps Aparatur Sipil Negara agar lebih profesional," kata Azwar di
Jakarta, Kamis (1/12).
Dengan perubahan ini, maka Korpri yang nantinya bernama Korps ASN diharapkan dapat mendukung
percepatan pembangunan. Azwar memang tak menampik tentang banyaknya krititikan yang ditujukan ke
Korpri. Karena itu, anggota Korpri harus melakukan inovasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik
yang makin murah, cepat, mudah dan baik.
"Segenap anggota Korpri harus membangun budaya birokrasi yang kredibel dan akuntabel. Mendukung
upaya pemberantasan korupsi dan perilaku koruptif di semua lini birokrasi," tegasnya.
Mengenai penghapusan Korpri, lanjut Azwar, istilah tersebut di dalam RUU ASN sudah ditiadakan. Hanya
saja yang kini menjadi pertanyaan, apakah Korps ASN berbentuk kedinasan atau non dinas. Sebab jika
masih berbentuk kedinasan, berarti masih ada jabatan struktural. Padahal yang diharapkan adalah
penghapusan jabatan struktural.
"Intinya semangat RUU ASN, Korpri diubah jadi Korps ASN yang profesional dan netral. Tidak boleh
dimanfaatkan oleh parpol manapun," pungkasnya. (Esy/jpnn)
Korpri Dibubarkan, Diganti Korps Aparatur Sipil Negara
2 Dec 2011 - 07:45 AM
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN&RB) Azwar Abubakar,
mengungkapkan bahwa Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) akan dibubarkan. Sebagai gantinya,
akan dibentuk Korps Aparatur Sipil Negara.
Azwar mengatakan, penghapusan Korpri itu dituangkan dalam Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil
Negara (ASN). Menurutnya, pembubaran Korpri itu juga sejalan dengan amanat presiden. Sebab melalui
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri agar wadah
pegawai negeri itu menjadi organisasi profesional dan netral. “Sesuai amanat presiden, Korpri harus menjadi
organisasi yang netral. Karena itu dalam RUU ASN, keberadaan Korpri akan diganti dengan Korps
Aparatur Sipil Negara agar lebih profesional,” kata Azwar di Jakarta, Kamis (1/12).
Dengan perubahan ini, maka Korpri yang nantinya bernama Korps ASN diharapkan dapat mendukung
percepatan pembangunan. Azwar memang tak menampik tentang banyaknya krititikan yang ditujukan ke
Korpri. Karena itu, anggota Korpri harus melakukan inovasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik
yang makin murah, cepat, mudah dan baik.
“Segenap anggota Korpri harus membangun budaya birokrasi yang kredibel dan akuntabel. Mendukung
upaya pemberantasan korupsi dan perilaku koruptif di semua lini birokrasi,” tegasnya.
Mengenai penghapusan Korpri, lanjut Azwar, istilah tersebut di dalam RUU ASN sudah ditiadakan. Hanya
saja yang kini menjadi pertanyaan, apakah Korps ASN berbentuk kedinasan atau non dinas. Sebab jika
masih berbentuk kedinasan, berarti masih ada jabatan struktural. Padahal yang diharapkan adalah
penghapusan jabatan struktural.
“Intinya semangat RUU ASN, Korpri diubah jadi Korps ASN yang profesional dan netral. Tidak boleh
dimanfaatkan oleh parpol manapun,” pungkasnya. (Esy/jpnn)
Wadah PNS Bakal Diubah jadi ASN
|
Kamis, 24 November 2011
|
Wadah organisasi para Pegawai
Negeri Sipil (PNS) bakal diubah. Seiring dengan bakal diubahnya nama PNS
menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), nantinya nama Korps Pegawai Negeri
Republik Indonesia (Korpri) juga akan diganti menjadi Korps Aparatur Sipil
Negara (ASN). Perubahan nama ini membawa konsekuensi, Korps ASN menjadi
organisasi non kedinasan. Sedang Korpri merupakan wadah di dalam
kedinasan. Menteri Pendayagunan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Menpan-RB) Azwar Abubakar menjelaskan, perubahan ini telah dirumuskan di
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) ASN yang saat ini masih dibahas
pemerintah bersama DPR.
“Dengan adanya RUU ASN, otomatis tidak ada Korpri lagi. Yang ada Korps ASN, sehingga sifat organisasinya pun akan berubah,” ujar Azwar Abubakar saat Rapat Kerja dengan Komisi II DPR, di Senayan, Rabu (23/11). Menteri asal Aceh ini menjelaskan, tujuan menjadikan Korps ASN menjadi non kedinasan adalah agar organisasi ini bisa lebih bebas menyampaikan aspirasi. Selama ini, lantaran berada di dalam kedinasan, Korpri terikat dengan norma birokrasi kepegawaian. “Jadi mereka tidak diatur-atur dan fokus ke organisasi saja. Tidak seperti Korpri mengikat dengan kedinasan. Selain itu, Korps ASN tidak perlu diberi jabatan eselonisasi,” papar menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Diakui, kelemahan dari sifat non kedinasan, Korps ASN bisa dimanfaatkan partai politik tertentu. Masalah keuangan juga akan jadi kendala karena tidak adanya plafon anggaran dari APBN untuk Korps ASN. Namun, dia mengatakan, dalam proses pembahasan RUU ASN nantinya, masalah kelemahan-kelemahan ini akan dicarikan solusinya. Ketua Umum Korpri Diah Anggraeni pernah menjelaskan makna Korpri sebagai organisasi di dalam kedinasan. Dikatakan, seluruh sepak terjang anggota PNS harus terkontrol oleh organisasi Korpri. “Saat ini Korpri merupakan wadah organisasi PNS yang berada di dalam kedinasan. Dulunya, berada di luar kedinasan. Sekarang, seluruh PNS otomatis anggota Korpri. Jadi sekarang lebih terkontrol,” ucap Diah beberapa waktu lalu. Sebagai sekjen Kemendagri, yang sekaligus Ketum Korpri, Diah menginstruksikan kepada seluruh sekretaris daerah (sekda) agar mampu mengawasi sepak terjang PNS di daerah masing-masing. Harapan pengendalian PNS di tangan sekda, lantaran sekda merupakan pejabat struktural tertinggi di daerah, yang punya kewenangan melakukan pembinaan terhadap seluruh PNS di daerah masing-masing. Ini yang dimaksud Korpri berada di dalam kedinasan. (sam) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar